Jumat, 21 September 2012

Khawatir Masa depan

Khawatirkanlah Masa Depan, Asalkan…
Alkisah, Iwan baru saja terkena PHK dan mendapat pesangon yang dicicil enam kali.
Setelah satu bulan tenggelam dalam keputus-asaan, ia membaca beberapa buku mengenai pengembangan diri. Dari situ, Iwan menanam sekeping pelontar semangat ke dalam dirinya: “Badai pasti berlalu. Bulan depan, mungkin saja aku sudah bebas dari krisis keuangan.” Maka naiklah semangatnya setinggi langit.
Dengan semangat setinggi langit, Iwan mulai berusaha merintis jalan baru. Cicilan pesangonnya yang kedua ia jadikan modal. Dengan modal ini, ia kirim selusin surat lamaran per minggu ke beberapa perusahaan. “Di antara jutaan perusahaan,” pikir Iwan, “tentulah ada yang membutuhkan aku, lulusan diploma yang berpengalaman.” Namun sampai sebulan, tiada panggilan.
Bulan berikutnya, Iwan menanam lagi sekeping pengobar semangat di dalam dirinya: “Siapa pun pasti berhasil kalau bersikap penuh semangat menghadapi masa sulit, bahkan walau tampak tiada harapan.” Maka melambunglah kembali kobaran semangat Iwan.
Dengan kembali berkobarnya semangat dirinya, dikirimnya lagi selusin surat lamaran per minggu. Kali ini ke sejumlah perusahaan yang membutuhkan lulusan diploma tanpa peduli pengalaman kerja. Sampai sebulan, tetap belum ada balasan.
Bulan selanjutnya, Iwan menanam lagi sekeping peluncur semangat di dalam dirinya: “Roda selalu berputar. Tahun depan, pasti giliranku naik ke atas.” Maka meroketlah spirit Iwan.
Dengan spirit yang meroket ini, dikirimnya selusin surat lamaran per minggu ke banyak perusahaan yang membutuhkan lulusan SMU yang berpengalaman. Sampai sebulan, keadaan belum berubah.
Bulan berikutnya, semangat Iwan mulai goyah. Tapi, ia merasa tak punya pilihan lain. Sebab itu, telinganya makin dia buka lebar-lebar, mendengar seruan para suporter: “Jangan menyerah. Teruslah mencoba dan mencoba lagi. Sebab, orang yang tidak pernah mencoba takkan maju. Sebaliknya, yang pantang menyerah pasti sukses.” Maka larilah Iwan mengejar cita-cita.
Setelah dibawanya cicilan pesangon yang kelima, dikirimnya lagi selusin surat lamaran per minggu. Kali ini ke berbagai perusahaan yang membutuhkan lulusan SMU tanpa peduli pengalaman kerja. Sampai sebulan, akhirnya… (pembaca jangan kaget, ya…), lamarannya masih belum membuahkan hasil!
Kami tidak terlalu kaget mendapati gigihnya Iwan mengirim surat lamaran. Kami bisa menduga kenapa dia terus berjuang ‘pantang menyerah’ secara begitu. Pasalnya, buku-buku pengembangan diri yang dia baca memang selalu berseru: “Jangan menyerah!”
Kami pun tidak terlalu kaget mendapati kenapa para penulis buku tersebut selalu menyeru para pembaca untuk jangan menyerah dalam keadaan apa pun. Pasalnya, karena hidup dalam budaya Nasrani, mereka sering mendengar dan mengucap kata-kata dari Injil yang menekankan seruan begitu. Konon, Yesus bersabda: “… Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai keyakinan sebesar biji sawi saja, kamu dapat berkata kepada gunung ini, ‘Pindahlah dari tempat ini ke sana, Emaka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu.” (Matius 17: 20)
Hanya saja, Iwan (dan pembaca muslim lainnya) tampaknya belum tahu bahwa Al-Qur’an berkata lain. Ia belum sadar, “takkan ada yang mustahil” itu berlaku hanya bagi Allah. Padahal, di kitab suci kita, Allah telah menyindir: “Apakah manusia memperoleh segala yang dia harapkan? [Tidak!] Maka segala kesudahan dan permulaan itu milik Allah.” (QS an-Najm [53]: 24-25) Jadi, bagi kita manusia, ada (sedikit-banyak) harapan yang mustahil kita capai.
“Aduh!” mungkin Anda mengaduh, “aku jadi khawatir. Jangan-jangan banyak harapanku yang mustahil tercapai di masa depan.”
Kalau perasaan Anda begitu, silakan Anda simak untaian kata-kata Buya Hamka di buku Tasauf Modern berikut ini.
Kalau takut disiksa [di neraka], singkirkan dosa. Kalau takut rugi berniaga, hendaklah hati-hati. Kalau takut pekerjaan ditimpa bahaya, jangan lupa mengawasinya. …
Karena menurut sunnatullah: dikuncikan rumah [lebih] dahulu, baru orang maling tertahan masuk; ditutupkan pintu kandang [lebih dahulu], baru musang tak mencuri ayam.
Jadi, boleh-boleh saja Anda khawatirkan masa depan Anda, asalkan Anda berupaya meng-antisipasi-nya secerdas-cerdasnya.
***
Oleh: M. Shodiq Mustika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar