Masalah perbedaan pendapat di kalangan umat Islam adalah sesuatu yang
umum terjadi, terutama dalam permasalahan fikih. Bahkan di kalangan
ulama sendiri perbedaan itu terjadi. Namun seharusnya itu tidak menjadi
alasan umat Islam untuk berpecah belah, terlebih jika pendapat tersebut
berlandaskan pada dalil yang shahih, karena Allah mencintai persatuan
dan melarang perpecahan.
Terkadang yang disayangkan adalah tatkala sebagian individu muslim
terlalu menganggap ringan perbedaan tanpa melihat kembali terhadap amal
atau keyakinan yang dimilikinya sejak kecil. Karena bisa jadi apa yang
dia amalkan atau dia yakini hanya sekedar kebiasaan yang dia lihat di
lingkungannya atau menerima informasi tanpa lebih jauh melihat dasar
atau dalil yang mendasarinya. Atau mengamini adanya perselisihan dengan
berdalil hadits yang tidak ada asalnya yaitu ‘perselisihan umatku adalah rahmat‘.
Atau mengecam orang lain semata-mata karena bertentangan dengan
madzhabnya dan menolak pendapat lain hanya karena berbeda madzhab – yang
umum disebut sebagai taqlid buta. Sangat disayangkan, padahal para imam
yang menjadi panutan dalam madzhab itu justru melarang pengikutnya
untuk taqlid dan memerintahkan mereka untuk ittiba atau mengikuti sunnah
Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentu tidak sulit bagi
kebanyakan kaum muslimin untuk kembali merenungkan dan mencari tahu
lebih jauh mengenai landasan amal perbuatan dan keyakinan yang selama
ini dipegangnya.
Berikut ini kutipan beberapa pernyataan para imam rahimahumullah yang
hendaknya dicermati oleh para pengikutnya dan dijadikannya sebagai
salah satu landasannya dalam beragama.
1. Abu Hanifah (Imam Hanafi)
Beliau adalah imam madzhab yang pertama. Ucapan beliau:
a. “Jika suatu hadits shahih, itulah madzhabku.” [Ibnu
Abidin dalam kitab al-Hasyiyah (I/63) dan kitab Rasmul Mufti (I/4) dari
kumpulan-kumpulan tulisan Ibnu Abidin. Juga oleh Syaikh Shalih al-Filani
dalam kitab Iqazhu al-Humam hlm 62 dan lain-lain]
Ibnu Abidin menukil dari Syarah al-Hidayah karya Ibnu Syahnah al-Kabir, seorang guru Ibnul Humam, yang berbunyi:
“Bila suatu hadits shahih sedangkan isinya bertentangan dengan
madzhab kita, yang diamalkan adalah hadits.” Hal ini merupakan madzhab
beliau dan tidak boleh seseorang muqallid menyalahi hadits shahih dengan
alasan dia sebagai pengikut Hanafi, sebab secara sah disebutkan dari
Imam Abu Hanifah bahwa beliau berpesan, “Jika suatu hadits shahih,
itulah madzhabku.” Begitu juga Imam Ibnu Abdul Barr meriwayatkan dari
para imam lain pesan semacam itu.
b. “Tidak halal bagi seseorang mengikuti perkataan kami bila ia tidak tahu dari mana kami mengambil sumbernya.”
[Ibnu Abdul Barr dalam kitab al-Intiqa fi Fadhail ats-Tsalatsah
al-Aimmah al-Fuqaha hlm 145, Ibnu Qayyim dalam I’lamul Muwaqi’in
(II/309), Ibnu Abidin dalam Hasyiyah al-Bahri ar-Raiq (VI/293), dll]
c. “Kalau saya mengemukakan suatu pendapat yang bertentangan
dengan al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tinggalkanlah pendapatku itu.” [Al-Filani dalam kitab al-Iqazh hlm 50, menisbatkannya kepada Imam Muhammad]
2. Imam Malik bin Anas
Beliau menyatakan:
a. “Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah, terkadang
benar. Oleh karena itu telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan
al-Qur’an dan sunnah, ambillah, dan bila tidak sesuai dengan al-Qur’an
dan sunnah, tinggalkanlah.” [Ibnu Abdul Barr dan dari dia juga Ibnu Hazm dalam kitabnya Ushul al-Ahkam (VI/149), begitu pula al-Fulani hlm. 72]
b. “Siapa pun perkataannya bisa ditolak dan bisa diterima, kecuali hanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri.”
[Di kalangan ulama mutaakhir hal ini populer dinisbatkan kepada Imam
Malik dan dinyatakan shahihnya oleh Ibnu Abdul Hadi dalam kitabnya
Irsyad as-Salik (1/227). Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abdul Barr dalam
kitab al-Jami' (II/291), Ibnu Hazm dalam kitab Ushul al-Ahkam (VI/145,
179), dari ucapan Hakam bin Utaibah dan Mujahid. Taqiyuddin Subuki
menyebutkannya dalam kitab al-Fatawa (I/148) dari ucapan Ibnu Abbas.
Karena ia merasa takjub atas kebaikan pernyataan itu, ia berkata :
"Ucapan ini diambil oleh Mujahid dari Ibnu Abbas, kemudian Malik
mengambil ucapan kedua orang itu, lalu orang-orang mengenalnya sebagai
ucapan beliau sendiri."]
c. Ibnu Wahhab berkata, “Saya pernah mendengar Malik menjawab
pertanyaan orang tentang menyela-nyela jari-jari kaki dalam wudhu,
jawabnya, ‘Hal itu bukan urusan manusia.’ Ibnu Wahhab berkata, ‘Lalu
saya tinggalkan beliau sampai orang-orang yang mengelilinginya tinggal
sedikit, kemudian saya berkata kepadanya, ‘Kita mempunyai hadits
mengenai hal tersebut’. Dia bertanya, ‘Bagaimana hadits itu?’ Saya
menjawab, ‘Laits bin Sa’ad, Ibnu Lahi’ah, Amr bin Harits, meriwayatkan
kepada kami dari Yazid bin ‘Amr al-Mu’afiri, dari Abi ‘Abdurrahman
al-Habali, dari Mustaurid bin Syaddad al-Qurasyiyyi, ujarnya, ‘Saya
melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggosokkan jari
manisnya pada celah-celah jari-jari kakinya’. Malik menyahut, ‘ Hadits
ini hasan, saya tidak mendengar ini sama sekali, kecuali kali ini. ‘
Kemudian di lain waktu saya mendengar dia ditanya orang tentang hal yang
sama, lalu beliau menyuruh orang itu untuk menyela-nyela jari-jari
kakinya.” [Muqaddimah kitab al-Jarh Wa at-Ta'dil, karya Ibnu Abi Hatim,
hlm 31-32 dan diriwayatkan secara lengkap oleh Baihaqi dalam Sunnan-nya
(I/81)]
3. Imam Syafi’i
Banyak riwayat-riwayat yang dinukil dari beliau dalam masalah ini.
Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya (VI/118), “Para ahli fiqh yang
ditaqlidi telah menganggap batal taqlid itu sendiri. Mereka melarang
para pengikutnya untuk taqlid kepada mereka. Orang yang paling keras
dalam melarang taqlid ini adalah Imam Syafi’i. Beliau dengan keras
menegaskan agar mengikuti hadits-hadits yang shahih dan berpegang pada
ketetapan-ketetapan yang digariskan dalam hujjah selama tidak ada orang
lain yang menyampaikan hujjah yang lebih kuat serta beliau sepenuhnya
berlepas diri dari orang-orang yang taqlid kepadanya dan dengan
terang-terangan mengumumkan hal ini. Semoga Allah memberi manfaat kepada
beliau dan memperbanyak pahalanya. Sungguh pernyataan beliau menjadi
sebab mendapatkan kebaikan yang banyak.”
Di antara pesan Imam Syafi’i:
a. “Setiap orang harus bermadzhab kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan mengikutinya. Apa pun pendapat yang aku katakan
atau sesuatu yang aku katakan itu berasal dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tetapi ternyata berlawanan dengan pendapatku, apa yang
disabdakan oleh Rasulullah itulah yang menjadi pendapatku.”
[Diriwayatkan Hakim dengan sanad bersambung kepada Imam Syafi'i seperti
tersebut dalam kitab Tarikh Damsyiq, karya Ibnu Asakir (XV/1/3), I'lam
al-Muwaqi'in (II/363-364), al-Iqazh hlm 100]
b. “Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa orang yang secara
jelas telah mengetahui suatu hadits dari Rasulullah, tidak halal
meninggalkannya guna mengikuti pendapat seseorang.” [Ibnu Qayyim (II/361) dan al-Filani hlm 68]
c. “Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan
dengan hadits Rasulullah, peganglah hadits Rasulullah itu dan tinggalkan
pendapatku itu.” [Harawi dalam kitab Dzamm al-Kalam (III/47/1),
al-Khathib dalam Ihtijaj bi asy-Syafi'i (VIII/2), Ibnu Asakir (XV/9/1),
Nawawi dalam al-Majmu' (I/63), Ibnu Qayyim (II/361), dll]
d. “Bila suatu Hadits shahih, itulah madzhabku.” [Nawawi, dalam Al-Majmu', Sya'rani (I/57) dan ia nisbatkan kepada Hakim dan Baihaqi, Filani hlm 107]
e. “Kalian lebih tahu tentang hadits dan para rawinya daripada
aku. Apabila suatu hadits itu shahih, beritahukanlah kepadaku biar di
manapun orangnya, apakah di Kuffah, Bashrah, atau Syam, sampai aku pergi
menemuinya.” [Ucapan ini ditujukan kepada Imam Ahmad bin Hanbal,
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam kitab Adabu asy-Syafi'i hlm
94-95, Abu Nu'aim dalam al-Hilyah (IX/106), al-Khatib dalam al-Ihtijaj
(VIII/1), diriwayatkan pula oleh Ibnu Asakir dari beliau (XV/9/1), Ibnu
Abdil Barr dalam Intiqa hlm 75, dll]
f. “Bila suatu masalah ada haditsnya yang sah dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menurut kalangan ahli hadits, tetapi
pendapatku menyalahinya, pasti aku akan mencabutnya, baik selama aku
hidup maupun setelah aku mati.” [Abu Nu'aim dalam al-Hilyah (IX/107), al-Harawi (47/1), Ibnu Qayyim dalam al-I'lam (II/363) dan Al-Filani hlm 104]
g. “Bila kalian mengetahui aku mengatakan suatu pendapat yang
ternyata menyalahi hadits Nabi yang shahih, ketahuilah bahwa hal itu
berarti pendapatku tidak berguna.” [Ibnu Abi Hatim dalam Adabu
asy-Syafi'i hlm 93, Abul Qasim Samarqandi dalam al-Amali seperti pada
al-Muntaqa, karya Abu Hafs al-Muaddib (I/234), Abu Nu'aim dalam
al-Hilyah (IX/106), dan Ibnu Asakir (15/10/1) dengan sanad shahih]
h. “Setiap perkataanku bila berlainan dengan riwayat yang shahih
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hadits Nabi lebih utama dan
kalian jangan bertaqlid kepadaku.” [Ibnu Abi Hatim hlm 93, Abu Nu'aim dan Ibnu Asakir (15/9/2) dengan sanad shahih]
i. “Setiap hadits yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, berarti itulah pendapatku, sekalipun kalian tidak mendengarnya
sendiri dari aku.” [Ibnu Abi Hatim hlm 93-94]
4. Imam Ahmad bin Hambal
Beliau menyatakan sebagai berikut:
a. “Janganlah engkau taqlid kepadaku atau kepada Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, tetapi ambillah dari sumber mereka mengambil.” [Al-Filani hlm 113 dan Ibnu Qayyim dalam al-I'lam (II/302)]
Pada riwayat lain disebutkan: “Janganlah kamu taqlid kepada
siapapun mereka dalam urusan agamamu. Apa yang datang dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, itulah hendaknya yang
kamu ambil. Adapun tentang tabi’in, setiap orang boleh memilihnya
(menolak atau menerima).”
Kali lain dia berkata: “Yang dinamakan ittiba’ yaitu mengikuti
apa yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya, sedangkan yang datang dari para tabi’in boleh dipilih.” [Abu Dawud dalam Masa'il Imam Ahmad hlm 276-277]
b. “Pendapat Auza’i, Malik dan Abu Hanifah adalah ra’yu
(pikiran). Bagi saya semua ra’yu sama saja, tetapi yang menjadi hujjah
agama adalah yang ada pada atsar (hadits).” [Ibnu Abdul Barr dalam al-Jami’ (II/149)]
c. “Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berada di jurang kehancuran.” [Ibnu Jauzi hlm 142]
***
Sumber:
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Sifat Shalat Nabi, Media Hidayah 2000aa
http://alhilyahblog.wordpress.com/2012/05/14/perkataan-para-imam-mengenai-larangan-taqlid-terhadap-madzhab/#more-659
Tidak ada komentar:
Posting Komentar