Sebagian salah bersikap saat-saat ini ketika bertindak atas orang yang menghina Nabinya yang mulia -‘alaihi sholaatu wa salaam-.
Mereka sampai-sampai membakar bendera orang kafir, sampai melakukan bom
bunuh diri dan peledakan-peledakan. Yang bertindak salah atas dasar
kejahilan adalah sampai mencela Tuhan orang kafir. Ada yang punya ide
ingin membuat film yang menghina Tuhannya orang kafir sebagai balasan.
Sebaliknya, ada yang bersikap baik dari saudara kita di bara sana.
Mereka yang muslim malah membagi-bagi CD dan buku tentang Islam, malah
dengan sikap lembut seperti ini banyak yang tertarik pada Islam. Manakah
sikap yang terbaik antara keduanya?
Mengajak pada Islam dengan Lemah Lembut
Ketahuilah bahwa asal berdakwah, mengajak orang lain kepada agama
Allah adalah dengan lemah lembut dan dengan memberikan nasehat dengan
cara yang baik. Karena demikianlah dakwah bisa berpengaruh dengan cara
seperti itu, hati tentu bisa menerima dengan mudah dibanding dengan
sikap keras dan anarkis. Begitu pula dalam mengajak orang kepada Islam.
Allah Ta’ala berfirman,
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An Nahl: 125).
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا كَانَ الرِّفْقُ فِى شَىْءٍ قَطُّ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ عُزِلَ عَنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Tidaklah kelembutan terdapat pada sesuatu melainkan ia akan
menghiasinya. Dan tidaklah kelembutan itu lepas melainkan ia akan
menjelekkannya.” (HR. Ahmad 6: 206, sanad shahih).
Prinsip Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah adalah dengan lemah lembut dengan madh’u (orang yang didakwahi) walau mereka orang kafir.
Ibnul ‘Arobi pernah berbicara tentang ayat berikut ini, Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik”
(QS. Al ‘Ankabut: 46). Ibnul ‘Arobi mengatakan, “Qotadah berkata: ayat
ini yang memerintahkan untuk tidak berjidal (berdebat) telah mansukh
(terhapus) dengan ayat yang memerintahkan untuk memerangi orang kafir.
Ada pula yang mengatakan bahwa ayat ini tidaklah mansukh (terhapus),
akan tetapi dikhususkan (pada keadaan tertentu). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
diutus awalnya dengan menyampaikan hujjah lewat lisan. Lalu setelah itu
Allah memerintahkan untuk menyampaikan hujjah dengan pedang dan lisan
hingga tegaklah hujjah pada makhluk … Siapa yang mampu untuk
menyampaikan hujjah lewat berperang, maka lakukanlah. Yang
tidak mampu, maka berdebatlah dengan lisan akan tetapi menyampaikan
dalil dengan cara yang baik dan ucapan yang baik pula. Ketika berdebat
berusaha menyampaikan apa yang diinginkan dan diikuti dengan cara yang
lemah lembut. Dalam penyampaian juga disampaikan dalil yang benar-benar
jelas (terang). Jika yang diajak debat tidak memahami, maka ulangilah
apa yang ingin disampaikan berulang kali.” Demikian Ibnul ‘Arobi menyebutkan nasehat ini dalam kitabnya Ahkamul Qur’an.
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Disakiti
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu pernah disakiti
dan dicela oleh orang-orang musyrik. Lalu bagaimanakah sikap beliau?
Beliau bersabar. Lihatlah bagaimanakah kisah beliau ketika disakiti oleh
penduduk Thoif saat beliau mendakwahi mereka. Beliau kala itu bersabar.
Guru kami, Syaikh Sholih Al Fauzan hafizhohullah berkata, “Ingatlah, dahulu orang-orang musyrik berkata terhadap Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, "Penyihir, dukun, pendusta"
dan perkataan hinaan lainnya. Namun, Allah memerintahkan Rasul-Nya
untuk bersabar. Kaum muslimin ketika itu tidak melakukan demonstrasi di
Mekkah, tidak menghancurkan sedikit pun dari rumah-rumah kaum musyrikin,
juga tidak membunuh seorang pun. Sabar dan tenanglah sampai Allah Subhanahu wa Ta'ala memudahkan jalan keluar bagi kaum muslimin.”[1]
Membalas dengan Mencela Tuhan Orang Kafir
Seperti kita ketahui bahwa kita tidak boleh mencela tuhan orang kafir
karena akan muncul kemungkaran lebih besar yaitu mereka malah mencela
Allah. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan” (QS. Al An’am: 108).
Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam I’lamul Muwaaqi’in menjelaskan
ayat di atas, “Allah melarang kita mencela tuhan-tuhan orang musyrik
dengan pencelaan yang keras atau sampai merendah-rendahkan (secara
terang-terangan) karena hal ini akan membuat mereka akan membalas dengan
mencela Allah. Tentu termasuk maslahat besar bila kita tidak mencela
tuhan orang kafir agar tidak berdampak celaan bagi Allah (sesembahan
kita). Jadi hal ini adalah peringatan tegas agar tidak berbuat seperti
itu, supaya tidak menimbulkan dampak negatif yang lebih parah.”
Jadi perlu diperhatikan bahwa kemungkaran tidaklah dibalas dengan kemungkaran yang semisal. Jika Nabi kita -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dicela, bukan berarti kita boleh mencela Nabi ‘Isa ‘alaihis salam. Karena mencela Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu kekafiran, demikian pula dengan mencela Nabi ‘Isa ‘alaihis salam.
Semoga Allah senantiasa memberi taufik pada kita pada kebenaran. Hanya Allah yang memberi petunjuk dan hidayah.
Referensi :
rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/4073-membalas-menghina-tuhan-orang-kafir.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar