Disi Nur Sakina – Bekasi
JAWAB:
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah untuk Rasulullah, keluarga, dan para sahabatnya.
Secara global, para ulama berselisih pendapat tentang bolehnya
berpuasa sunnah sebelum selesai melaksanakan qadla Ramadlan dalam dua
pendapat.
Pertama, boleh berpuasa sunnah sebelum melaksanakan qadla Ramadlan.
Ini merupakan pendapat Jumhur, baik bolehnya secara global ataupun
makruh. Madzab Hanafi membolehkan untuk langsung berpuasa sunnah sebelum
melaksanakan qadla Ramadlan karena puasa qadla tidak wajib untuk
disegerakan, bahkan kewajibannya sangat luas (lapang), dan ini merupakan
satu riwayat dari Ahmad.
Sedangkan madhab Maliki dan Syafi’i berpendapat: boleh tapi makruh.
Sebabnya, karena menyibukkan diri dengan amal sunnah dari yang qadla
berupa mengakhirkan yang wajib.
Kedua, haram berpuasa sunnah sebelum melaksanakan qadla’ Ramadlan. Ini merupakan pendapat madhab Hambali.
Yang shahih dari dua pendapat ini adalah yang menyatakan bolehnya
berpuasa Sunnah enam hari di bulan syawal sebelum membayar puasa
Ramadlan. Karena waktu (kesempatan) qadla’ (membayar puasa Ramadlan)
luas. Sedangkan pendapat yang tidak membolehkan dan menyatakan tidak sah
membutuhkan dalil, dan tidak ada satu dalilpun yang bisa dijadikan
sandaran untuk hal itu. Sementara dalil yang ada menunjukkan bolehnya
untuk melaksanakan puasa sunnah sebelum puasa qadla, yaitu :
firman Allah
Ta’ala, “. . . Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)
dan hadits Aisyah radliyallaahu ‘anha, “Aku memiliki hutang puasa
Ramadlan, tetapi aku tidak sanggup menggantinya kecuali pada bulan
Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan tidak diragukan lagi bahwa Aiysah radliyallaahu ‘anha
melaksanakan puasa sunnah di sela-sela tahun itu, dan pastinya perbuatan
Aisyah itu diketahui oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Ini
berarti beliau menyetujuinya.
Sedangkan persoalan yang berkaitan dengan puasa enam hari di bulan
Syawal sebelum selesai melaksanakan qadla Ramadlan, di kalangan ulama,
terdapat dua pendapat:
Pertama, keutamaan puasa di bulan syawal tidak bisa diraih kecuali
oleh orang yang sudah menyelesaikan hutang puasa Ramadlan yang pernah
ditinggalkannya karena udzur. Mereka berdalil dengan sabda Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan, lalu diikuti dengan puasa
enam hari pada bulan Syawal, maka dia seperti puasa sepanjang tahun.”
(HR. Muslim dari Abu Ayyub al-Anshari)
Dan seseorang disebut telah berpuasa Ramadlan jika telah
menyelesaikan jumlah hari di bulan tersebut. Imam al-Haitami dalam
Tuhfah al-Muhtaj (3/457) menjelaskan keutamaan puasa enam hari di bulan
Syawal diraih dengan puasa Ramadlan, yaitu keseluruhannya. Jika tidak
maka keutamaan tersebut tidak akan diraih.
Ibnu Muflih dalam kitabnya Al-Furu’ (3/108) berkata, “Keutamaan
puasanya (enam hari dari bulan Syawal) ditujukan bagi orang yang
melaksanakan puasa tersebut dan telah mengqadla puasa Ramadlan, dan
tidak puasanya di bulan Ramadlan itu dikarenakan udzur. . . .” Dan
sejumlah ulama kontemporer juga berpendapat demikian seperti Syaikh
Abdul Aziz bin Bazz dan Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahumallaah.
Kedua, bahwa keutamaan puasa enam hari dari bulan Syawal bisa diraih
bagi siapa yang melaksanakannya sebelum mangadla’ puasa yang
ditinggalkannya di bulan Ramadlan karena ada udzur. Karena orang yang
tidak berpuasa beberapa hari di bulan Ramadlan dikarenakan udzur bisa
dibenarkan kalau dia telah berpuasa Ramadlan. Lalu apabila dia
mengiringinya dengan puasa enam hari dari bulan Syawal sebelum
melaksanakan qadla’, maka dia mendapatkan pahala yang dijanjikan oleh
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Al-Bujairimi dalam Hasyiyahnya menukil tentang bantahan terhadap
pendapat yang mengatakan tidak akan diperoleh pahala puasa enam hari
dari bulan Syawal oleh orang yang mendahulukan puasa tersebut atas puasa
qadla’ dengan hujjah bahwa sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
“Lalu diikuti dengan puasa enam hari pada bulan Syawwal”. Beliau
beralasan bahwa kata tab’iyah “mengikuti” bisa bermakna taqdiriyah,
artinya kalau puasa tesebut dilaksanakan sesudah melaksanakan puasa di
bulan Ramadlan (walau masih memiliki hutang karena udzur), maka berpuasa
enam hari di bulan syawal disebut telah mengikuti.
Ada sejumlah ulama kontemporer yang condong kepada pendapat kedua,
seperti Syaikh Abu Malik Kamal bin al-Sayyid Salim dalam Shahih Fiqih
Sunnahnya. Setelah beliau menukilkan pendapat ulama yang melarang untuk
mendahulukan puasa enam hari di bulan Syawal sebelum mengadla’ puasa
Ramadlan yang ditinggalkannya karena udzur, beliau mengatakan, “Kecuali
bila dikatakan sabdanya: ‘kemudian dilanjutkan dengan puasa enam hari
dari bulan Syawal’, terucap secara umum, dan tidak memiliki konteks
mafhum sama sekali, maka ketika itu boleh melaksanakan puasa enam hari
di blan syawal tersebut sebelum melaksanakan puasa qadlan Ramadlan.
Terutama apabila bulan syawal terasa sempit bagi seseorang jika harus
mengadla terlebih dahulu. (Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal Salim,
Pustaka al-Tazkia, Jakarta: 3/182)
Puasa enam hari di bulan Syawal merupakan keutamaan khusus untuk bulan ini yang akan hilang dengan berlalunya bulan Syawal.
Syaikh Khalid bin Abdullah al-Mushlih juga termasuk yang lebih
condong untuk membolehkan. Beliau menjelaskan, bahwa makna didapatkannya
keutamaan tersebut tidak tergantung dengan selesai dari melaksanakan
qadla’ sebelum melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal. Karena
kelanjutan puasa bulan Ramadlan untuk puasa sepuluh bulan sesudahnya
bisa diraih dengan menyempurnakan pelaksanaan amal fardlu baik dengan
langsung atau diqadla’. Dan Allah sendiri telah melapangkan dalam
masalah qadla’ melalui firman-Nya,
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ
“. . . Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah
kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS.
Al-Baqarah: 185)
Pendapat yang shahih: boleh berpuasa Sunnah enam hari di bulan syawal
sebelum membayar puasa Ramadlan. Karena waktu (kesempatan) qadla’
(membayar puasa Ramadlan) luas.
Sedangkan puasa enam hari di bulan Syawal merupakan keutamaan khusus
untuk bulan ini yang akan hilang dengan berlalunya bulan Syawal. Namun
demikian mendahulukan puasa fardlu untuk mengangkat beban kewajiban itu
lebih utama daripada menyibukkan dengan amal sunnah. Tapi siapa yang
berpuasa enam hari di bulan Syawal lalu baru melaksanakan puasa qadla
sesudahnya, maka dia mendapatkan keutamaan puasa tersebut karena tidak
ada dalil khusus yang meniadakan hilangnya keutamaan tersebut. wallahu
a’lam [voa-islam.com]
http://amininoorm.wordpress.com/2011/01/08/bolehkah-berpuasa-sunnah-syawal-sebelum-membayar-puasa-ramadhan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar