muslihhm.blogspot.com Jalan ‘Natsir Muda’ ke Jenjang Politik
Nurcholish Madjid kecil semula bercita-cita menjadi masinis kereta api. Namun, setelah dewasa, lelaki kelahiran Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939, ini malah menjadi kandidat masinis dalam bentuk lain, menjadi pengemudi lokomotif yang membawa gerbong bangsa. Setidaknya ini terjadi sejak Senin pekan lalu, ketika Ketua Yayasan Wakaf Paramadina ini menyatakan siap menjadi calon Presiden Indonesia pada pemilihan umum mendatang.
Sebenarnya menjadi masinis lokomotif politik adalah pilihan yang lebih
masuk akal. Nurcholish muda hidup di tengah keluarga yang lebih kental
membicarakan soal politik ketimbang mesin uap. Keluarganya berasal dari
lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) dan ayahnya, Kiai Haji Abdul Madjid, adalah
salah seorang pemimpin partai politik Masyumi. Saat terjadi “geger” politik NU
keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri, ayahnya tetap bertahan di
Masyumi. “Dengan nuansa politik pada waktu itu, keluarga Cak Nur biasa
mengobrol, mendengar,
bicara soal-soal politik,” kata Utomo Dananjaya, 67
tahun, sahabat lama Nurcholish.
Utomo juga kerap dituding sebagai salah seorang “kompor” yang mendorong
Nurcholish ke pentas politik. “Ah tidak, politik sudah ada dalam pemikiran Cak
Nur sejak pemilu tahun 1955. Generasi saya dan dia sudah cukup dewasa untuk
memahami, membaca, dan melihat politik,” demikian kata Direktur Institute for
Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta, itu. Kesadaran politik
Nurcholish muda terpicu oleh kegiatan orang tuanya yang aktif sekali dalam
urusan pemilu. Apalagi orang tua santri Kulliyatul Mualimin al-Islamiyah
Pesantren Darus Salam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, itu adalah kiai, tokoh
masyarakat, sekaligus pemimpin Masyumi. “Mengobrol dalam keluarga tentu
termasuk juga soal politik. Hanya, Cak Nur itu kan yang menonjol pemikirannya,
bukan sikap politiknya,” kata Utomo, yang akrab dipanggil Mas Tom.
Padahal politik praktis mulai dikenal Nurcholish saat menjadi mahasiswa. Ia
terpilih sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Ciputat, tempat
Nurcholish menimba ilmu di Fakultas sastra dan Kebudayaan Islam Institut Agama
Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Jakarta. Pengalamannya bertambah saat
menjadi salah satu calon Ketua Umum Pengurus Besar HMI. Saat menjadi kandidat,
menurut Eki Syahrudin kepada Utomo, kemampuan Nurcholish sudah cukup komplet.
“Pikirannya, ngajinya, menjadi imam, khotbah, ceramah agama, bagus semua.
Orang-orang HMI waktu itu terpukau oleh pikiran-pikiran Cak Nur,” kata Utomo
menirukan kekaguman Duta Besar Indonesia untuk Kanada itu.
Namun, kendati memimpin organisasi mahasiswa ekstrakurikuler yang disegani
pada awal zaman Orde Baru itu, Nurcholish tidak menonjol di lapangan sebagai
demonstran. Bahkan juga tidak berkibar di lingkungan politik sebagai pengurus Komite
Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), kumpulan mahasiswa yang dianggap berperan
menumbangkan Presiden Sukarno dan mendudukkan Mayor Jenderal Soeharto sebagai
penggantinya. Prestasi Cak Nur lebih terukir di pentas pemikiran. Terutama
pendapatnya tentang soal demokrasi, pluralisme, humanisme, dan keyakinannya
untuk memandang modernisasi atau modernisme bukan sebagai Barat, modernisme
bukan westernisme. “Modernisme dilihatnya sebagai gejala global, seperti halnya
demokrasi,” ujar Tom.
Pemikiran Nurcholish tersebar melalui berbagai tulisannya yang dimuat
secara berkala di tabloid Mimbar Demokrasi, yang diterbitkan anak-anak HMI.
Gagasan Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara ini memukau banyak
orang, hingga Nurcholish digelari oleh orang-orang Masyumi sebagai “Natsir
muda”. “Gelar Natsir muda itu bukan karena dia pintar agama, melainkan karena
pemikiran-pemikirannya. Saat itu hampir semua orang bilang begitu,” ujar Utomo,
yang mengaku kenal Nurcholish sejak tahun 1960-an, yaitu saat Tom menjadi Ketua
Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Nurcholish Ketua Umum HMI.
Pemikiran Nurcholish yang paling menggegerkan khalayak, terutama para
aktivis gerakan Islam, adalah saat pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta ini
melontarkan pernyataan “Islam yes, partai Islam no”. Nurcholish ketika itu
menganggap partai-partai Islam sudah menjadi “Tuhan” baru bagi orang-orang
Islam. Partai atau organisasi Islam dianggap sakral dan orang Islam yang tak
memilih partai Islam dalam pemilu dituding melakukan dosa besar. Bahkan, bagi
kalangan NU, haram memilih Partai Masyumi. Padahal orang Islam tersebar di
mana-mana, termasuk di partai milik penguasa Orde Baru, Golkar. “Waktu itu
sedang tumbuh obsesi persatuan Islam. Kalau tidak bersatu, Islam menjadi lemah.
Cak Nur menawarkan tradisi baru bahwa dalam semangat demokrasi tidak harus
bersatu dalam organisasi karena keyakinan, tetapi dalam konteks yang lebih
luas, yaitu kebangsaan,” kata Mas Tom.
Karena gagasannya ini, tuduhan negatif datang ke arah Nurcholish, mulai
dari pemikir aktivis gerakan Islam sampai peneliti asing. Di dalam negeri,
pemikiran Nurcholish ditentang tokoh Masyumi, Profesor H.M. Rasjidi. Sedangkan
dari negeri jiran, Malaysia, ia dicerca oleh Muhammad Kamal Hassan, penulis
disertasi yang kemudian diterbitkan dengan judul Muslim Intellectual Responses
to “New Order” Modernization in Indonesia. Hassan menuding Nurcholish sebagai
anggota Operasi Khusus (Opsus) di bawah Ali Moertopo. Tudingan ini dibantah
Utomo, yang kenal betul pribadi Nurcholish. “Tuduhan itu tidak berdasar, karena
kami saat itu benar-benar bersama-sama. Itu fitnah, dan Kamal Hassan tak pernah
bertemu kami untuk mengkonfirmasi sumbernya itu,” ujar Tom.
Kejutan berikut datang lagi pada Pemilu 1977, dalam pertemuan di kantor
KAMI, saat para aktivisnya sedang cenderung memilih Golkar sebagai kendaraan
politik. Nurcholish satu-satunya tokoh yang meminta agar mahasiswa tidak
memilih Golkar. “Sebab, waktu itu, menurut Cak Nur, Golkar sudah memiliki
segalanya, militer, birokrasi, dan uang,” kata Utomo. Maka, dalam kampanye
Partai Persatuan Pembangunan (P3), Nurcholish mengemukakan teori “memompa ban
kempes”, yaitu pemikiran agar mahasiswa memilih partai saja ketimbang Golkar.
“Cak Nur percaya pada check and balances, mengajak mahasiswa agar tidak memilih
Golkar, dan dia tak masuk Golkar. Ada pengaruh atau tidak? Nyatanya, di Jakarta
PPP menang. Dengan tema demokrasinya itu, orang menjadi lebih berani, sehingga
Golkar di Jakarta terus-terusan kalah,” ujar Mas Tom.
Pemikiran politik Nurcholish semakin memasuki ranah filsafat setelah ia
kuliah di Universitas Chicago, di Chicago, Illinois, Amerika Serikat, untuk
meraih gelar doktor dalam bidang filsafat. Nurcholish terlibat perdebatan
segitiga yang seru dengan Amien Rais dan Mohamad Roem. Pemicunya adalah tulisan
Amien Rais di majalah Panji Masyarakat, “Tidak Ada Negara Islam”, yang
menggulirkan kegiatan surat-menyurat antara Nurcholish yang berada di Amerika
dan Roem di Indonesia. Cak Nur menyatakan tidak ada ajaran Islam yang secara
qoth’i (jelas) untuk membentuk negara Islam. Surat-surat pribadi itu ternyata
tak hanya dibaca Roem, tetapi juga menyebar ke tokoh lain, misalnya Ridwan
Saidi dan Tom sendiri.
Barangkali itu sebabnya, ketika Nurcholish pulang dari Amerika pada tahun
1984, setelah meraih gelar Ph.D, lebih dari 100 orang menyambutnya di Pelabuhan
Udara Internasional Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Mereka antara lain Fahmi
Idris, Soegeng Sarjadi, A.M. Fatwa, dan para tokoh lainnya. “Cak Nur saya kira
istimewa. Ketika pulang dari AS, ternyata banyak sekali orang yang
menyambutnya. Saya tidak pernah me lihat seseorang yang selesai sekolah
disambut seperti itu,” kata Mas Tom kagum.
Memang, di kalangan alumni HMI, Nurcholish sangat berpengaruh. Misalnya,
saat Korps Alumni HMI akhirnya menerima asas tunggal dan harus menemui Presiden
Soeharto di Istana, Nurcholish “diculik” kawan-kawan HMI-nya untuk menghadap
Presiden. “Karena ada orang yang berusaha tidak mengikutkannya. Tapi ada yang
menyatakan dia harus ikut. Sebab, kalau Cak Nur datang, pertemuan menjadi cukup
kuat,” kata ahli pendidikan itu.
Pertemuan Nurcholish dengan Soeharto terakhir, pada Mei 1998, menurut Tom
menunjukkan besarnya pengaruh Cak Nur. Saat itu Nurcholish berbicara langsung kepada
Soeharto, memintanya mundur. “Itu dikatakan di depan Pak Harto. Saya kira Pak
Harto memahami pikiran Cak Nur itu,” kata Utomo. Terbukti sebagian pemikiran
Nurcholish, misalnya soal mengadakan pemilu ulang dan menarik tentara dari
politik, diambil oleh Soeharto sebagai syarat turunnya.
Tahun 1999, dia sempat digadang-gadang sekelompok orang menjadi calon
presiden. Tapi Nurcholish tak mau karena tahu diri bukan orang partai. “Apalagi
Gus Dur sudah mencalonkan diri. Saya menjadi makmum saja. Masa, harus ada dua
imam,” katanya. Namun, Nurcholish tak berhenti mengkritik Presiden Abdurrahman
Wahid. Bahkan Ketua Umum PDI Perjuangan yang sekarang jadi presiden, Megawati
Soekarnoputri, diminta tak lagi mencalonkan diri pada Pemilu 2004. “Sebab, ada
peluang kondisi Indonesia tak akan membaik dari krisis ekonomi seperti pada
masa Megawati saat ini. Pertanyaan besarnya adalah kita tahan-enggak untuk lima
tahun sengsara lagi?” kata Nurcholish pertengahan April lalu.
Megawati ternyata tak menggubris permintaan itu. Dan Nurcholish bereaksi
dengan menggelar konferensi pers menyatakan siap jadi calon presiden pada
pemilu mendatang. Pernyataan itu segera menjadi kepala berita berbagai media
cetak ataupun elektronik dan disambut gembira para pendukungnya.
Namun, ada juga yang bersikap lain. Penentang lama Nurcholish, Daud Rasyid,
meragukan kemampuan Cak Nur. Menurut Daud, pengalaman Cak Nur terjun ke kancah
politik belum ada. “Cak Nur cukup dekat dengan pemerintah Orde Baru, sering
memanfaatkan situasi, dan mengikuti arah politik pada saat itu,” katanya. Nah,
tipe pemimpin seperti itu, menurut Daud, susah diharapkan membawa bangsa yang
besar. “Pemimpin yang dikenal tegar saja menghadapi sebuah rezim kadang-kadang
tak kuat,” ujar Daud.
Rupanya, Daud tak menyimak sepuluh butir pernyataan yang menjadi platform
Cak Nur. Salah satu butirnya menyebutkan perlunya dilakukan rekonsiliasi
nasional. Dan hanya dengan cara ini bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar