Lahir di
Mekkah. dari keluarga Madura asal Pamekasan yang mengaku keturunan bangsawan
sekaligus ulama. Sekembalinya ke Madura, ayahnya, Kiai Syamsul Arifin
mendirikan sebuah pesantren kecil di Kembang Kuning, Pamekasan, dan beberapa
tahun kemudian juga mendirikan sebuab pesantren yang lebih besar di Situbondo,
di bagian ujung timur pulau Jawa yang pada saat itu belum dibuka. As`ad sendiri
dkirim belajar kepada Kiai Kholil Bangkalan dan Kiai Hasjim Asi'ari di
Tebuireng, dan kemudian belajar lagi ke Mekkah. Mulai mengajar di pesantren
ayahnya di Situbondo pada 1924, dan menggantikannya ketika sang ayah meninggal
dunia pada 1951.
Terkenal
sebagai guru pencak silat dan, terutama, ilmu kesaktian. Pesantrennya
berkembang pesat, dan pada 1980-an merupakan salah satu yang terbesar di Jawa,
yang menawarkan bukan hanya pendidikan tingkat menengah tetapi bahkan
pendidikan tinggi Islam. Kiai As'ad tidak pernah memegang jabatan formal dalam
kepengurusan NU (kecuali sebagai mustasyar, sejak 1984 hingga 1989). Namun.
seiring dengan usianya yang semakin sepuh, pengaruhnya di kalangan ulama lain pun
semakin bertambah, karena dia termasuk di antara sedikit murid Kiai Kholil
Bangkalan dan Kiai Hasjim Asj'ari yang masih hidup.
Sekitar
1980-an dia menganggap dirinya, dan dianggap orang lain, sebagai pemuka ulama
Madura. Wibawanya di kalangan pendudukan Madura sedemikian besar sehingga para
pejabat tinggi pemerintah merasa perlu berhubungan dekat dengannya. Namun,
wibawanya bukan tidak pernah tergoyahkan. Dalam sebuah konflik antara Kiai
As'ad dan tarekat Tijaniyyah (yang mengalami perkembangan pesat) yang
berlangasung sengit hampir sepanjang 1980-an, Kiai As'ad gagal keluar sebagai
pemenang. Dia menderita kekalahan terbesarnya pada muktamar NU 1989, yang
menunjukkan bahwa dirinya sudah tak terpakai lagi.
(Tempo 1984:1016-8 1986: 1094-5; Tempo 15-10-1983 dan
11-8-1990)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar