Sabtu, 28 Desember 2013

Ustadz Mata duwitan

Suatu waktu pernah dengar penjelasan dari seorang sahabat, kalau dulu seseorang itu disebut ustad atau kiai
dengan beberapa persyaratan. Pertama, dia punya pesantren. Kedua, dia punya jamaah khusus dibina. Ketiga, dia memang memiliki pengetahuan mendalam tentang agama. Yang diukur antara lain pengetahuan bahasa Arab.

Ah itu kan dulu, Dengan gencarnya komersialisasi televisi, maka sekarang banyak lahir ustad-ustad tipe baru. Pertama, ustad tipe baru itu tidak perlu menguasai bahasa Arab, tidak perlu paham banget agama. Kedua, bisa menghibur. Ketiga, jamaahnya adalah fans di televisi. Program seperti itu lebih banyak hiburannya ketimbang informasinya, jadi pertimbangannya lebih ke segi komersil.

Akibat dari komersiliasi dakwah di media elektronik itu mengakibatkan kecenderungan sejumlah ustadz tenar yang wara-wiri muncul di TV dengan mematok bayaran mahal tertentu. Wajar kalau orang apalagi mereka yang berkarya berhak meminta hak atas tenaga, karya dan pikiran yang telah mereka keluarkan. Namun jika itu seorang ustadz yang bertugas sebagai pendakwah ?. Jawabannya mungkin
bisa beragam.

Dalam sebuah program talk show di Indosiar, dimana saat itu menghadirkan tiga pendakwah yang terdiri dari seorang ustadzah dan dua orang ustadz. Nama mereka tak usah disebutkan, mereka juga cukup intens muncul di TV apalagi di bulan Ramadhan ini.

Seorang dari tiga pendakwah itu berpendapat kalau seorang ustadz harus “camera face” sementara dua yang lain menjawab tidak. Masih ustadz yang sama, dia bersedia dipanggil secara mendadak untuk berceramah menjelang berbuka meski harus meninggalkan buka bersama keluarganya. Sementara dua yang lain tidak bersedia. Lalu ustadz yang bersedia tersebut mengemukakan panjang lebar alasannya lengkap dengan dalil-dalilnya. Memang berbeda pendapat itu boleh dan wajar. Sebagai informasi saja, ustadz ini beberapa waktu lalu pernah muncul di infotainment terkait kontroversinya yang meminta uang muka dibayar terlebih dulu jika ada jamaah yang ingin mengundangnya.

Ada yang paling mengejutkan karena sebuah pertanyaan dari Host yang harus dijawab dengan cepat oleh ketiga pendakwah itu.

“Bersedia diundang tapi budget (pengundang) kurang ?”. Ketiganya kompak menjawab “TIDAK”.

Dari tayangan itu akhirnya saya juga berpikir kalau mereka memang mematok tarif tertentu. Lebih jelas lagi, mereka TIDAK MAU jika bayarannya kurang atau tidak sesuai dengan tarif yang dikehendaki. Lantas apa alasan mereka memilih demikian ?. Menurut mereka sebagian bayaran itu nantinya akan mereka salurkan untuk kegiatan sosial seperti menyantuni anak yatim. Oleh karena itu meskipun dinilai bayarannya mahal, sebenarnya itu bukan untuk diri mereka sendiri semata.

Sungguh mulia niat dan pikiran mereka. Tapi jujur saja, masih ada pertanyaan yang mengganjal seperti “Apa karena harus menyantuni anak yatim, mereka lalu meminta bayaran tinggi lalu menolak jika bayarannya kurang ?”. “Apa itu berarti mereka mengakui mereka tidak akan bisa menyantuni anak yatim jika bayaran dakwahnya kurang ?”.

Entahlah, semoga saja bukan itu yang terjadi karena sebelumnya mereka sepakat kalau berdakwah itu panggilan hati, bukan pekerjaan mengais nafkah. Lagipula, mahal atau murah, kita harus mengakui mereka telah berperan dalam mencerahkan umat termasuk kita.

Saya juga kadang bingung kalau di infotainment sering muncul sosok ustad, dia ini seorang ustad apa seorang artis? Yang kadang terlihat selalu pamer dan bersifat ria padahal ini sangat dilarang oleh agama.

Pernah gak sengaja saya mendengar ibu-ibu ngomongin soal ustad-ustad berwajah ganteng di televisi, eh, ada beberapa dari mereka celoteh begini, “saya juga mau jadi istrinya. bla, bla, bla, bla…..”. Saya cuma tersenyum geli. Ternyata masih banyak umat yang "terhipnotis" oleh penampilan fisik saja. Tak banyak dari mereka yang merenungi isi ceramah para ustad tersebut. Dan lucunya, acara mereka semakin hari justru diminati. Tapi, sampai kapan?

Saya cuma merasa geli, kok begini ya wajah ustad kita di depan publik? Makin hari kok makin banyak saja yang terlihat lebay. Apakah umat sudah tidak lagi mempan dengan metode dakwah yang biasa-biasa?

Dan tidak heran saat jamaah seorang pendakwah yang pernah poligami tersebut tiba-tiba menyusut karena selama ini jamaah yang "mengikutinya" adalah jamaah yang "menggilai" sosok, bukanlah konten islami yang diberikan sang pendakwah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar