Suatu waktu pernah dengar penjelasan dari seorang sahabat, kalau dulu
seseorang itu disebut ustad atau kiai
dengan beberapa persyaratan.
Pertama, dia punya pesantren. Kedua, dia punya jamaah khusus dibina.
Ketiga, dia memang memiliki pengetahuan mendalam tentang agama. Yang
diukur antara lain pengetahuan bahasa Arab.
Ah itu kan dulu,
Dengan gencarnya komersialisasi televisi, maka sekarang banyak lahir
ustad-ustad tipe baru. Pertama, ustad tipe baru itu tidak perlu
menguasai bahasa Arab, tidak perlu paham banget agama. Kedua, bisa
menghibur. Ketiga, jamaahnya adalah fans di televisi. Program seperti
itu lebih banyak hiburannya ketimbang informasinya, jadi pertimbangannya
lebih ke segi komersil.
Akibat dari komersiliasi dakwah di media
elektronik itu mengakibatkan kecenderungan sejumlah ustadz tenar yang
wara-wiri muncul di TV dengan mematok bayaran mahal tertentu. Wajar
kalau orang apalagi mereka yang berkarya berhak meminta hak atas tenaga,
karya dan pikiran yang telah mereka keluarkan. Namun jika itu seorang
ustadz yang bertugas sebagai pendakwah ?. Jawabannya mungkin
bisa beragam.
bisa beragam.
Dalam sebuah program talk show di Indosiar, dimana saat
itu menghadirkan tiga pendakwah yang terdiri dari seorang ustadzah dan
dua orang ustadz. Nama mereka tak usah disebutkan, mereka juga cukup
intens muncul di TV apalagi di bulan Ramadhan ini.
Seorang dari
tiga pendakwah itu berpendapat kalau seorang ustadz harus “camera face”
sementara dua yang lain menjawab tidak. Masih ustadz yang sama, dia
bersedia dipanggil secara mendadak untuk berceramah menjelang berbuka
meski harus meninggalkan buka bersama keluarganya. Sementara dua yang
lain tidak bersedia. Lalu ustadz yang bersedia tersebut mengemukakan
panjang lebar alasannya lengkap dengan dalil-dalilnya. Memang berbeda
pendapat itu boleh dan wajar. Sebagai informasi saja, ustadz ini
beberapa waktu lalu pernah muncul di infotainment terkait kontroversinya
yang meminta uang muka dibayar terlebih dulu jika ada jamaah yang ingin
mengundangnya.
Ada yang paling mengejutkan karena sebuah pertanyaan dari Host yang harus dijawab dengan cepat oleh ketiga pendakwah itu.
“Bersedia diundang tapi budget (pengundang) kurang ?”. Ketiganya kompak menjawab “TIDAK”.
Dari
tayangan itu akhirnya saya juga berpikir kalau mereka memang mematok
tarif tertentu. Lebih jelas lagi, mereka TIDAK MAU jika bayarannya
kurang atau tidak sesuai dengan tarif yang dikehendaki. Lantas apa
alasan mereka memilih demikian ?. Menurut mereka sebagian bayaran itu
nantinya akan mereka salurkan untuk kegiatan sosial seperti menyantuni
anak yatim. Oleh karena itu meskipun dinilai bayarannya mahal,
sebenarnya itu bukan untuk diri mereka sendiri semata.
Sungguh
mulia niat dan pikiran mereka. Tapi jujur saja, masih ada pertanyaan
yang mengganjal seperti “Apa karena harus menyantuni anak yatim, mereka
lalu meminta bayaran tinggi lalu menolak jika bayarannya kurang ?”. “Apa
itu berarti mereka mengakui mereka tidak akan bisa menyantuni anak
yatim jika bayaran dakwahnya kurang ?”.
Entahlah, semoga saja
bukan itu yang terjadi karena sebelumnya mereka sepakat kalau berdakwah
itu panggilan hati, bukan pekerjaan mengais nafkah. Lagipula, mahal atau
murah, kita harus mengakui mereka telah berperan dalam mencerahkan umat
termasuk kita.
Saya juga kadang bingung kalau di infotainment sering muncul sosok ustad, dia ini seorang ustad apa seorang artis? Yang kadang terlihat selalu pamer dan bersifat ria padahal ini sangat dilarang oleh agama.
Pernah gak sengaja saya mendengar ibu-ibu
ngomongin soal ustad-ustad berwajah ganteng di televisi, eh, ada
beberapa dari mereka celoteh begini, “saya juga mau jadi istrinya. bla,
bla, bla, bla…..”. Saya cuma tersenyum geli. Ternyata masih banyak umat
yang "terhipnotis" oleh penampilan fisik saja. Tak banyak dari mereka
yang merenungi isi ceramah para ustad tersebut. Dan lucunya, acara
mereka semakin hari justru diminati. Tapi, sampai kapan?
Saya
cuma merasa geli, kok begini ya wajah ustad kita di depan publik? Makin
hari kok makin banyak saja yang terlihat lebay. Apakah umat sudah tidak
lagi mempan dengan metode dakwah yang biasa-biasa?
Dan tidak
heran saat jamaah seorang pendakwah yang pernah poligami tersebut
tiba-tiba menyusut karena selama ini jamaah yang "mengikutinya" adalah
jamaah yang "menggilai" sosok, bukanlah konten islami yang diberikan
sang pendakwah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar