Jumat, 29 November 2013

Perbedaan Antara Ulama Fiqih dengan Ulama Tasawuf

PRESIDEN Republik Indonesia (RI) ke-IV, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berpendapat, cara pandang ulama tasawuf atau para sufi atas segala sesuatu tidaklah hitam-putih atau halal-haram sebagaimana ulama fikih. Karenanya, para sufi tidak mudah menyalahkan pihak lain yang berbeda.
“Orang hukum yang begitu (mudah menyalahkan, red). Sufi ya tidak begitu. Kita harus rendah hati. Mungkin justru kita yang keliru. Itu yang harus kita lakukan.”

Demikian disampaikan Ketua Umum Dewan Syura DPP Partai Kebangkitan Bangsa itu saat menjadi narasumber pada acara Kongkow Bareng Gus Dur di Green Radio Jl. Utan Kayu 68H Jakarta, Sabtu (13/09/2008). Hadir juga Pemimpin Redaksi Cahaya Sufi KH. Lukman Hakim.

Gus Dur mengingatkan, supaya umat Islam tidak melihat sesuatu secara hitam-putih. Namun diakuinya, hingga saat ini umat Islam masih belum beranjak dari cara pandang banner ini. “Ini yang menyebabkan umat Islam menjadi galak,” tegas Gus Dur.

Karena itu, Gus Dur menghimbau umat Islam untuk terus belajar dan belajar berbagai bidang ilmu keagamaan. Tidak hanya mempelajari fikih, namun juga mendalami tasawuf. “Islam itu tidak hanya satu bidang saja,” ungkapnya mengingatkan.

KH. Lukman Hakim menyatakan, sufi adalah sosok yang senantiasa mengamalkan ayat udkhulu fi al-silmi kaffah (masuklah dalam perdamaian secara total). “Ini perilaku yang mesti kita lakukan, sebagai kontribusi perdamaian dan pangkal pencerahan,” ungkapnya.

Prinsip ini meniscayakan para sufi menyebarkan dakwahnya dengan damai dan tanpa pemaksaan, apalagi kekerasan. Kiai Lukman – sapaan akrab KH. Lukman Hakim – karenanya mengritik sekelompok umat Islam yang merasa benar sendiri lantas memaksakan “hidayah” yang menjadi otoritas Allah SWT pada kelompok lain yang dinilainya “salah”.

“Itu (hidayah, red.) kan urusan Allah SWT. Jika dipaksakan, ini bisa menjadi pemicu konflik,” katanya kuatir.
Bagi Kiai Lukman, surga juga bukan monopoli kelompok muslim belaka. Menukil Abdul Karim al-Jili (w. 832 H) dalam karyanya al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakhir wa al-Awa’il, ia menyatakan Ahli al-Kitab juga ada yang masuk surga. Ini, katanya, berkat munajat Nabi Isa AS. Dalam al-Qur’an disebutkan, Isa bermunajat: fa in tu’adzdzibhum fainnahum ibaduk fa in taghfir lahum fainnaka azizun hakim (Jika Engkau menyiksa mereka, itu hamba-MU juga. Jika Engkau mengampuni mereka, maka Engkau Maha Besar dan Maha Bijaksana.

“Berkat munajat Nabi Isa ini, nanti ada umatnya yang diampuni dan masuk surga. Karenanya, kita tidak boleh mudah menghukumi (seseorang masuk surga atau neraka, red.),” harapnya.

Kiai Lukman juga menyentil kelompok spiritual yang disebutnya instan. Dalam bahasa Imam al-Ghazali (w. 505 H), katanya, kelompok ini disebut spiritual nafsani atau syahwati. Mereka berlaku spiritual, misalnya, karena unsur politis, pamrih duniawi dan atau motivasi lain selain Allah SWT.

“Umat Islam tidak boleh terjebak pada aspek yang sifatnya instan nafsu. Ini memudahkan perilaku spiritual umat Islam rentan pada pertarungan kebudayaan dan pluralistas. Akibatnya, secara psikologis ini memudahkan yang tidak sama dianggap salah,” ujarnya.[nhm/zal]


sumber: gusdur.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar