Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan
penduduk bersuku bangsa Jawa di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Selain itu, bahasa Jawa juga
digunakan oleh penduduk yang tinggal di beberapa daerah lain seperti Banten
(terutama Serang, Cilegon,
dan Tangerang) serta Jawa Barat (terutama kawasan pantai utara yang
meliputi Karawang, Subang,
Indramayu, dan Cirebon).
Penyebaran Bahasa Jawa
Migrasi suku
Jawa membuat bahasa Jawa bisa ditemukan di berbagai daerah, bahkan di luar
negeri. Banyaknya orang Jawa yang merantau ke Malaysia turut membawa
bahasa dan kebudayaan Jawa ke Malaysia, sehingga terdapat kawasan pemukiman mereka yang dikenal dengan nama kampung Jawa, padang Jawa. Di samping itu, masyarakat pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kawasan-kawasan luar Jawa yang didominasi etnis Jawa atau dalam persentase yang cukup signifikan adalah : Lampung (61,9%), Sumatera Utara (32,6%), Jambi (27,6%), Sumatera Selatan (27%), Aceh(15,87%) yang dikenal sebagai Aneuk Jawoe. Khusus masyarakat Jawa di Sumatera Utara, mereka merupakan keturunan para kuli kontrak yang dipekerjakan di berbagai wilayah perkebunan tembakau, khususnya di wilayah Deli sehingga kerap disebut sebagai Jawa Deli atau Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera), dengan dialek dan beberapa kosa kata Jawa Deli. Sedangkan masyarakat Jawa di daerah lain disebarkan melalui program transmigrasi yang diselenggarakan semenjak zaman penjajahan Belanda.
bahasa dan kebudayaan Jawa ke Malaysia, sehingga terdapat kawasan pemukiman mereka yang dikenal dengan nama kampung Jawa, padang Jawa. Di samping itu, masyarakat pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kawasan-kawasan luar Jawa yang didominasi etnis Jawa atau dalam persentase yang cukup signifikan adalah : Lampung (61,9%), Sumatera Utara (32,6%), Jambi (27,6%), Sumatera Selatan (27%), Aceh(15,87%) yang dikenal sebagai Aneuk Jawoe. Khusus masyarakat Jawa di Sumatera Utara, mereka merupakan keturunan para kuli kontrak yang dipekerjakan di berbagai wilayah perkebunan tembakau, khususnya di wilayah Deli sehingga kerap disebut sebagai Jawa Deli atau Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera), dengan dialek dan beberapa kosa kata Jawa Deli. Sedangkan masyarakat Jawa di daerah lain disebarkan melalui program transmigrasi yang diselenggarakan semenjak zaman penjajahan Belanda.
Selain di
kawasan Nusantara, masyarakat Jawa juga ditemukan dalam jumlah besar
di Suriname, yang mencapai 15% dari penduduk secara keseluruhan,
kemudian di Kaledonia Baru bahkan sampai kawasan Aruba
dan Curacao serta Belanda.
Sebagian kecil bahkan menyebar ke wilayah Guyana Perancis dan Venezuela. Pengiriman tenaga kerja ke Korea,
Hong Kong, serta beberapa negara Timur Tengah juga memperluas wilayah sebar
pengguna bahasa ini meskipun belum bisa dipastikan kelestariannya.
Fonologi
Dialek Jawa Tengah, terutama dari
sekitar kota Surakarta dan Yogyakarta memiliki fonem-fonem
berikut:
Vokal
Aksara swara
|
||||||
Depan
|
Tengah
|
Belakang
|
||||
Lambang
|
(nama)
|
Lambang
|
(nama)
|
Lambang
|
(nama)
|
|
Terbuka
|
I
|
i-jejeg
|
u
|
u-jejeg: ditulis 'u'
|
||
½ Terbuka
|
E
|
é-jejeg: ditulis 'é'
i-miring: ditulis 'i' |
ə
|
e-pepet: ditulis 'e' atau 'ě'
|
o
|
o-jejeg
u-miring: ditulis 'u' |
½ Tertutup
|
(ɛ)
|
e-miring:
ditulis 'e'
|
(ɔ)
|
o-miring:
ditulis 'o'
a-jejeg: ditulis 'a' |
||
Tertutup
|
a
|
a-miring
|
Perhatian:
Fonem-fonem antara tanda kurung merupakan
alofon. Catatan pembaca pakar bahasa Jawa: Dalam bahasa Jawa [a],[ɔ], dan [o]
itu membedakan makna [babaʔ] 'luka'; [bɔbɔʔ]'param' atau 'lobang', sikile
di-bɔbɔʔi 'kakinya diberi param', lawange dibɔbɔʔi 'pintunya dilubangi'; dan
[boboʔ] 'tidur'. [warɔʔ] 'rakus' sedang [waraʔ] 'badak'; [lɔr] 'utara'
sedangkan [lar] 'sayap', [gəɖɔŋ] 'gedung' sedangkan [gəɖaŋ] 'pisang;
[cɔrɔ]'cara' sedang [coro] 'kecoak', [lɔrɔ]'sakit' sedang [loro] 'dua', dan
[pɔlɔ] 'pala/rempah-rempah' sedang [polo] 'otak'. Dengan demikian, bunyi [ɔ]
itu bukan alofon [a] ataupun alofon [o] melainkan fonem tersendiri.
Tekanan kata
(stress) direalisasikan pada suku kata kedua dari belakang, kecuali
apabila sukukata memiliki sebuah pepet sebagai vokal. Pada kasus seperti ini,
tekanan kata jatuh pada sukukata terakhir, meskipun sukukata terakhir juga
memuat pepet. Apabila sebuah kata sudah diimbuhi dengan afiks, tekanan kata
tetap mengikuti tekanan kata kata dasar. Contoh: /jaran/ (kuda) dilafazkan
sebagai [j'aran] dan /pajaranan/ (tempat kuda) dilafazkan sebagai [paj'aranan].
Semua vokal
kecuali /ə/, memiliki alofon. Fonem /a/ pada posisi tertutup
dilafazkan sebagai [a] (a-miring), namun pada posisi terbuka sebagai [ɔ]
(a-jejeg). Contoh: /lara/ (sakit) dilafazkan sebagai [l'ɔrɔ], tetapi
/larane/ (sakitnya) dilafazkan sebagai [l'arane]
Fonem /i/
pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [i] (i-jejeg) namun pada posisi
tertutup lafaznya kurang lebih mirip [ɛ] (i-miring). Contoh: /panci/
dilafazkan sebagai [p'aɲci] , tetapi /kancil/ kurang lebih dilafazkan sebagai
[k'aɲcɛl].
Fonem /u/
pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [u] (u-jejeg) namun pada posisi
tertutup lafaznya kurang lebih mirip [o] (u-miring). Contoh: /wulu/
(bulu) dilafazkan sebagai [w'ulu] , tetapi /ʈuyul/ (tuyul) kurang lebih
dilafazkan sebagai [ʈ'uyol].
Fonem /e/
pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [e] (e-jejeg) namun pada posisi
tertutup sebagai [ɛ] (e-miring). Contoh: /lélé/ dilafazkan sebagai
[l'ele] , tetapi /bebek/ dilafazkan sebagai [b'ɛbɛʔ].
Fonem /o/
pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [o] (o-jejeg) namun pada posisi
tertutup sebagai [ɔ] (o-miring). Contoh: /loro/ dilafazkan sebagai
[l'oro] , tetapi /boloŋ/ dilafazkan sebagai [b'ɔlɔŋ].
Konsonan
Aksara
wyanjana
|
|||||||
Labial
|
Dental
|
Alveolar
|
Retrofleks
|
Palatal
|
Velar
|
Glotal
|
|
Letupan
|
p b
|
t d
|
ʈ ɖ
|
tʃ dʒ
|
k g
|
ʔ
|
|
Frikatif
|
s
|
(ʂ)
|
h
|
||||
Likuida
& semivokal
|
W
|
l
|
r
|
j
|
|||
Sengau
|
M
|
n
|
(ɳ)
|
ɲ
|
ŋ
|
Fonem /k/
memiliki sebuah alofon. Pada posisi terakhir, dilafazkan
sebagai [ʔ]. Sedangkan pada posisi tengah dan awal tetap sebagai [k].
Fonem /n/
memiliki dua alofon. Pada posisi awal atau tengah
apabila berada di depan fonem eksplosiva
palatal atau retrofleks, maka fonem sengau ini akan
berubah sesuai menjadi fonem homorgan.
Kemudian apabila fonem /n/ mengikuti sebuah /r/, maka akan menjadi [ɳ] (fonem
sengau retrofleks). Contoh: /panjaŋ/ dilafazkan sebagai [p'aɲjaŋ], lalu /anɖap/
dilafazkan sebagai [ʔ'aɳɖap]. Kata /warna/ dilafazkan sebagai [w'arɳɔ].
Fonem /s/
memiliki satu alofon. Apabila /s/ mengikuti fonem /r/ atau berada di depan
fonem eksplosiva retrofleks, maka akan direalisasikan sebagai [ʂ]. Contoh:
/warsa/ dilafazkan sebagai [w'arʂɔ], lalu /esʈi/ dilafazkan sebagai [ʔ'eʂʈi].
Nama dan penulisan abjad Latin dalam bahasa Jawa
|
||
Pra 1942
|
Yogyakarta (1991)
|
Nama
|
b
|
B
|
bé
|
tj
|
C
|
cé
|
d
|
D
|
dé
|
ḍ
|
Dh
|
dhé
|
F
|
ef
|
|
g
|
G
|
gé
|
h
|
H
|
ha
|
dj
|
J
|
jé
|
k
|
K
|
ka
|
l
|
L
|
el
|
m
|
M
|
em
|
n
|
N
|
en
|
p
|
P
|
pé
|
q
|
Ki
|
|
r
|
r
|
Er
|
s
|
s
|
Es
|
t
|
t
|
Té
|
ṭ
|
th
|
Thé
|
v
|
Vé
|
|
w
|
w
|
Wé
|
x
|
Eks
|
|
j
|
y
|
Yé
|
z
|
Zet
|
Fonotaktik
Dalam bahasa
Jawa baku, sebuah suku kata bisa memiliki bentuk seperti berikut: (n)-K1-(l)-V-K2.
Artinya
ialah sebagai berikut:
- (n) adalah fonem sengau homorgan.
- K1 adalah konsonan letupan atau likuida.
- (l) adalah likuida yaitu /r/, /l/, atau /w/, namun hanya bisa muncul kalau K1 berbentuk letupan.
- V adalah semua vokal. Tetapi apabila K2 tidak ada maka fonem /ə/ tidak bisa berada pada posisi ini.
- K2 adalah semua konsonan kecuali letupan palatal dan retrofleks; /c/, /j/, /ʈ/, dan /ɖ/.
Contoh:
- a (V)
- ang (VK)
- pang (KVK)
- prang (KlVK)
- mprang (nKlVK)
Sama halnya
dengan bahasa-bahasa Austronesia lainnya, kata
dasar asli dalam bahasa Jawa terdiri atas dua suku kata (bisilabis); kata yang terdiri
dari lebih dari tiga suku kata akan dipecah menjadi kelompok-kelompok bisilabis
untuk pengejaannya. Dalam bahasa Jawa modern, kata dasar bisilabis memiliki
bentuk: nKlvVnKlvVK.
Tata Bahasa
Variasi
Bahasa Jawa
sangat beragam, dan keragaman ini masih terpelihara sampai sekarang, baik
karena dituturkan maupun melalui dokumentasi tertulis. Dialek geografi, dialek
temporal serta register dalam bahasa Jawa sangat kaya sehingga seringkali
menyulitkan orang yang mempelajarinya.
Dialek geografi
Klasifikasi
berdasarkan dialek geografi mengacu kepada pendapat E.M. Uhlenbeck (1964) .
Peneliti lain seperti W.J.S. Poerwadarminta dan Hatley memiliki pendapat yang
berbeda.
Kelompok
Barat
- dialek Banten
- dialek Cirebon. Menurut hasil penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode Guiter, Bahasa Cirebonan memiliki Perbedaan sekitar 75% dengan Bahasa Jawa Yogya / Surakarta.
- dialek Tegal
- dialek Banyumasan
- dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)
Tiga dialek
terakhir biasa disebut Basa
Banyumasan.
Kelompok
Tengah
- dialek Pekalongan
- dialek Kedu
- dialek Bagelen
- dialek Semarang
- dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
- dialek Blora
- dialek Surakarta
- dialek Yogyakarta
- dialek Madiun
Kelompok
kedua ini dikenal sebagai bahasa Jawa Tengahan atau Mataraman. Dialek Surakarta
dan Yogyakarta menjadi acuan baku bagi pemakaian resmi bahasa Jawa (bahasa Jawa
Baku).
Kelompok
Timur
- dialek Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro)
- dialek Surabaya
- dialek Malang
- dialek Jombang
- dialek Tengger
- dialek Banyuwangi
Kelompok
ketiga ini dikenal sebagai bahasa Jawa Wetanan (Timur).
Selain
dialek-dialek di tanah asal, dikenal pula dialek-dialek yang dituturkan oleh
orang Jawa diaspora, seperti di Sumatera Utara, Lampung, Suriname, Kaledonia
Baru, dan Curaçao.
Dialek temporal
Berdasarkan
dokumentasi tertulis, bahasa Jawa paling tidak memiliki dua variasi temporal,
yaitu bahasa Jawa Kuna dan bahasa Jawa Modern. Bahasa
Jawa Kuna sering kali disamakan sebagai bahasa Kawi, meskipun sebenarnya bahasa
Kawi lebih merupakan genre
bahasa susastra yang diturunkan dari bahasa Jawa Kuna.
Bahasa Jawa
Kuna dikenal dari berbagai prasasti serta berbagai "kakawin" yang berasal dari periode Medang atau Mataram Hindu
sampai surutnya pengaruh Majapahit (abad ke-8 sampai abad ke-15).
Bahasa Jawa
Modern adalah bahasa dikenal dari literatur semenjak periode Kesultanan Demak
(abad ke-16) sampai sekarang. Ciri yang paling khas adalah masuknya kata-kata
dari bahasa Arab, Portugis, Belanda, dan juga Inggris.
Register (undhak-undhuk basa)
Bahasa Jawa
mengenal undhak-undhuk basa dan menjadi bagian integral dalam tata krama
(etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa. Dialek Surakarta biasanya menjadi
rujukan dalam hal ini. Bahasa Jawa bukan satu-satunya bahasa yang mengenal hal
ini karena beberapa bahasa Austronesia lain dan bahasa-bahasa Asia Timur
seperti bahasa Korea dan bahasa Jepang juga mengenal hal semacam ini. Dalam
sosiolinguistik, undhak-undhuk merupakan salah satu bentuk register.
Terdapat
tiga bentuk utama variasi, yaitu ngoko ("kasar"), madya
("biasa"), dan krama ("halus"). Di antara
masing-masing bentuk ini terdapat bentuk "penghormatan" (ngajengake,
honorific) dan "perendahan" (ngasorake, humilific).
Seseorang dapat berubah-ubah registernya pada suatu saat tergantung status yang
bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial,
atau hal-hal lain. Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan
berbicara dengan varian ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan
menggunakan krama andhap dan krama inggil. Sistem semacam ini terutama dipakai
di Surakarta, Yogyakarta, dan Madiun. Dialek lainnya cenderung kurang memegang
erat tata-tertib berbahasa semacam ini.
Sebagai
tambahan, terdapat bentuk bagongan dan kedhaton, yang keduanya
hanya dipakai sebagai bahasa pengantar di lingkungan keraton. Dengan demikian,
dikenal bentuk-bentuk ngoko lugu, ngoko andhap, madhya, madhyantara, krama,
krama inggil, bagongan, kedhaton.
Di bawah ini
disajikan contoh sebuah kalimat dalam beberapa gaya bahasa yang berbeda-beda
ini.
- Bahasa Indonesia: "Maaf, saya mau tanya rumah Kak Budi itu, di mana?"
- Ngoko kasar: “Eh, aku arep takon, omahé Budi kuwi, nèngndi?’
- Ngoko alus: “Aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi kuwi, nèng endi?”
- Ngoko meninggikan diri sendiri: “Aku kersa ndangu, omahé mas Budi kuwi, nèng ndi?” (ini dianggap salah oleh sebagian besar penutur bahasa Jawa karena menggunakan leksikon krama inggil untuk diri sendiri)
- Madya: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, griyané mas Budi niku, teng pundi?” (ini krama desa (substandar))
- Madya alus: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, dalemé mas Budi niku, teng pundi?” (ini juga termasuk krama desa (krama substandar))
- Krama andhap: “Nuwun sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?” (dalem itu sebenarnya pronomina persona kedua, kagungan dalem 'kepunyaanmu'. Jadi ini termasuk tuturan krama yang salah alias krama desa)
- Krama lugu: “Nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Budi punika, wonten pundi?”
- Krama alus “Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?”
nèng adalah
bentuk percakapan sehari-hari dan merupakan kependekan dari bentuk baku ana ing
yang disingkat menjadi (a)nêng.
Dengan
memakai kata-kata yang berbeda dalam sebuah kalimat yang secara tatabahasa
berarti sama, seseorang bisa mengungkapkan status sosialnya terhadap lawan
bicaranya dan juga terhadap yang dibicarakan. Walaupun demikian, tidak semua
penutur bahasa Jawa mengenal semuanya register itu. Biasanya mereka hanya
mengenal ngoko dan sejenis madya.
Bilangan dalam bahasa Jawa
Bila
dibandingkan dengan bahasa Melayu atau Indonesia, bahasa Jawa memiliki sistem bilangan
yang agak rumit.
Bahasa
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
10
|
Kuna
|
Sa
|
rwa
|
telu
|
Pat
|
lima
|
enem
|
pitu
|
walu
|
sanga
|
sapuluh
|
Kawi
|
Eka
|
dwi
|
tri
|
Catur
|
panca
|
Sad
|
sapta
|
asta
|
nawa
|
dasa
|
Krama
|
setunggal
|
kalih
|
tiga
|
sekawan
|
gangsal
|
enem
|
pitu
|
wolu
|
sanga
|
sedasa
|
Ngoko
|
Siji
|
loro
|
telu
|
Papat
|
lima
|
enem
|
pitu
|
wolu
|
sanga
|
sepuluh
|
Fraksi
- 1/2 setengah, separo, sepalih (Krama)
- 1/4 seprapat, seprasekawan (Krama)
- 3/4 telung prapat, tigang prasekawan (Krama)
- 1,5 siji setengah, setunggal kalih tengah (Krama)
Sejarah
Penggunaan bahasa Jawa masa kini
Demografi pemakai bahasa Jawa di Indonesia
Provinsi di Indonesian
|
% dari populasi provinsi
|
Berbahasa Jawa (1980)
|
|
1.
|
Aceh
|
6.7%
|
175,000
|
2.
|
Sumatra Utara
|
21.0%
|
1,757,000
|
3.
|
Sumatra Barat
|
1.0%
|
56,000
|
4.
|
Jambi
|
17.0%
|
245,000
|
5.
|
Sumatra Selatan
|
12.4%
|
573,000
|
6.
|
Bengkulu
|
15.4%
|
118,000
|
7.
|
Lampung
|
62.4%
|
2,886,000
|
8.
|
Riau
|
8.5%
|
184,000
|
9.
|
Jakarta
|
3.6%
|
236,000
|
10.
|
Jawa Barat
|
13.3%
|
3,652,000
|
11.
|
Jawa Tengah
|
96.9%
|
24,579,000
|
12.
|
Yogyakarta
|
97.6%
|
2,683,000
|
13.
|
Jawa Timur
|
74.5%
|
21,720,000
|
14.
|
Bali
|
1.1%
|
28,000
|
15.
|
Kalimantan Barat
|
1.7%
|
41,000
|
16.
|
Kalimantan Tengah
|
4.0%
|
38,000
|
17.
|
Kalimantan Selatan
|
4.7%
|
97,000
|
18.
|
Kalimantan Timur
|
10.1%
|
123,000
|
19.
|
Sulawesi Utara
|
1.0%
|
20,000
|
20.
|
Sulawesi Tengah
|
2.9%
|
37,000
|
21.
|
Sulawesi Tenggara
|
3.6%
|
34,000
|
22.
|
Maluku
|
1.1%
|
16,000
|
Referensi dan pranala luar
- "Language Documentation Training Center". Diakses 2013-09-25.
- Herrfurth, Hans (1964). Lehrbuch des modernen Djawanisch. Lehrbücher für das Studium der orientalischen und afrikanischen Sprachen IX. Leipzig: VEB Verlag Enzyklopädie. hlm. 19.
- Uhlenbeck, E.M. 1964.A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura. The Hague: Martinus Nijhoff
- http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=132798 Menimbang-nimbang Bahasa Cirebon (Edisi Tahun 2009)
- The data are taken from the census of 1980 as provided by James J. Fox and Peter Gardiner and published by S. A. Wurm and Shiro Hattori, eds. 1983. Language Atlas of the Pacific Area, Part II: (Insular South-East Asia), Canberra.
- In 1980 this included the now separate Banten province
Tidak ada komentar:
Posting Komentar