KH. Muhammad
Kholil dilahirkan pada 11 Jamadilakhir 1235 Hijrah atau 27 Januari 1820 Masihi
di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan,
Pulau Madura, Jawa Timur.
Beliau
berasal dari keluarga Ulama dan digembleng langasung oleh ayah Beliau menginjak
dewasa beliau ta’lim diberbagai pondok pesantren. Sekitar 1850-an, ketika
usianya menjelang tiga puluh, Kiyai Muhammad Khalil belajar kepada Kiyai
Muhammad Nur di Pondok-pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur.
Dari
Langitan beliau pindah ke Pondok-pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian
beliau pindah ke Pondok-pesantren Keboncandi. Selama belajar di pondok-pesantren
ini beliau belajar pula kepada Kiyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7
kilometer dari Keboncandi. Kiyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai
pertalian keluarga dengannya.
Sewaktu
menjadi Santri KH Muhammad Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan
Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). disamping itu juga
beliau juga seorang
hafiz al-Quran . Belia mampu membaca alqur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara
membaca al-Quran).
Pada 1276
Hijrah/1859 Masihi, KH Muhammad Khalil Belajar di Mekah. Di Mekah KH Muhammad
Khalil al-Maduri belajar dengan Syeikh Nawawi al-Bantani(Guru Ulama Indonesia
dari Banten). Di antara gurunya di Mekah ialah Syeikh Utsman bin Hasan
ad-Dimyathi, Saiyid Ahmad bA
Sewaktu berada di Mekah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Kh.Muhammad
Khalil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh
para pelajar.
Diriwayatkan
bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh
Nawawi al-Bantani, Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri dan Syeikh Saleh as-Samarani
(Semarang) menyusun kaedah penulisan huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan
Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf
Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa
Melayu.
karena Kiyai
Muhammad Khalil cukup lama belajar di beberapa pondok-pesantren di Jawa dan
Mekah, maka sewaktu pulang dari Mekah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar
nahwu, fiqih, thariqat ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan pengetahuan
keislaman yang telah diperolehnya, Kiyai Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan
pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari
desa kelahirannya. Kh.Muhammad Khalil al-Maduri adalah seorang ulama yang
bertanggungjawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam
dan bangsanya.
Beliau sedar
benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa
asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya. Beliau dan keseluruhan suku
bangsa Madura seratus peratus memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda,
bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristian.
Sesuai
dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekah telah berumur lanjut, tentunya
Kiyai Muhammad Khalil tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak
dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang
diasaskannya. Kiyai Muhammad Khalil sendiri pernah ditahan oleh penjajah
Belanda kerana dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda
di pondok pesantrennya. beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaana
lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang
pernah mendapat pendidikan dari Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri .
Kh.Ghozi
menambahkan, dalam peristiwa 10 November, Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar
seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah dan Mbah Abas Buntet
Cirebon, menge-rahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu.
Hizib-hizib
yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan
lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan kiai-kiai itu
bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar.
Tak
ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan
pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi
lawan buyar.
Saat
konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan.
”Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara
lawan yang senjatanya super modern. Tapi sayang, peran ulama yang mengerahkan
kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan,” papar Kiai Ghozi, cucu KH
Wahab Chasbullah ini.
Kesaktian
lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di
beberapa tempat dalam waktu bersamaan.
Pernah ada
peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil
melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau
basah kuyub,” cerita kh Ghozi.
Para santri
heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung
ngloyor masuk rumah, ganti baju.
Teka-teki
itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Mbah
Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah
laut, langsung ditolong Mbah Kholil.
”Kedatangan
nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat
pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah.
Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan
membantu si nelayan itu,” papar kh Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani
Ngemplak Sleman ini.
di antara
sekian banyak murid Kh Muhammad Khalil al-Maduri yang cukup menonjol dalam
sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah Kh Hasyim Asy’ari
(pendiri Pondok-pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdhatul Ulama /
NU) Kiyai Haji Abdul Wahhab Hasbullah (pendiri Pondok-pesantren Tambakberas,
Jombang); Kiyai Haji Bisri Syansuri (pendiri Pondok-pesantren Denanyar); Kiyai
Haji Ma’shum (pendiri Pondok-pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda Kiyai
Haji Ali Ma’shum), Kiyai Haji Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang);
dan Kiyai Haji As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok-pesantren Asembagus,
Situbondo).
Kh. Muhammad
Khalil al-Maduri, wafat dalam usia yang lanjut 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341
Hijrah/14 Mei 1923 Masihi.
Membetulkan
Arah Kiblat
Kiai
Muntaha, mantu Kiai Kholil, yang terkenal alim itu membangun masjid di
pesantrennya, dan pembangunan masjid tersebut hampir rampung. Sebagai seorang
alim, Kiai Muntaha membangun dengan rencana yang matang sesuai dengan tuntunan
syariat. Begitu juga dengan tata letak dan posisi masjid yang tepat mengarah ke
kiblat. Menurut Kiai Muntaha, masjid yang hampir rampung itu sudah sedemikian
tepat, sehingga tinggal menunggu peresmiannya saja sebagai masjid kebanggaan
pesantren.
Suatu hari,
masjid yang hampir rampung itu dilihat oleh Kiai Kholil, menurut pandangan Kiai
Kholil, ternyata masjid itu terdapat kesalahan dalam posisi kiblat.
“Muntaha,
arah kiblat masjidmu ini masih belum tepat, ubahlah!” ucap Kiai Kholil
mengingatkan mantunya yang alim itu. Sebagai seorang alim, sebagai kiai alim,
Kiai Muntaha tidak percaya begitu saja. Beberapa argumen diajukan kepada Kiai
Kholil untuk memperkuat pendiriannya yang selama ini sudah dianggapnya benar,
melihat mantunya tidak ada-ada tanda-tanda menerima nasehatnya, Kiai Kholil
tersenyum sambil berjalan ke arah masjid.
Sementara
Kiai Muntaha mengikuti di belakangnya. Sesampainya di ruang pengimaman, Kiai
Kholil mengambil kayu kecil kemudian melubangi dinding tembok arah kiblat.
“Muntaha,
coba kau lihat lubang ini, bagaimana posisi arah kiblatmu?” panggil Kiai Kholil
sambil memperhatikan mantunya bergegas mendekatkan matanya ke lubang itu,
betapa kagetnya Kiai Muntaha setelah melihat dinding itu. Tak diduganya, lubang
yang kecil itu ternyata Ka’bah yang berada di Makkah dapat dilihat dengan jelas
dihadapannya. Kiai Muntaha tidak percaya, digosok-gosokan matanya dan dilihatnya
sekali lagi lubang itu, dan ternyata Ka’bah yang di Makkah malah semakin jelas.
Maka, sadarlah Kiai Muntaha, ternyata arah kiblat Masjid yang diyakininya benar
selama ini terdapat kesalahan. Arah kiblat masjid yang dibangunnya, ternyata
terlalu miring ke kanan. Kiai Kholil benar, sejak saat itu, Kiai Muntaha mau
mengubah arah kiblat masjidnya sesuai dengan arah yang dilihat dalam lubang
tadi.
Mengetahui
Pikiran Kiai Noer
Ketika
Kholil muda menyantri pada Kiai Noer di pesantren Langitan Tuban. Kholil seperti
biasanya ikut jama’ah sholat yang memang keharusan para santri. Di tengah
kekhusukan jama’ah sholat, tiba-tiba kholil tertawa terbahak-bahak. Karuan
saja, hal ini membuat santri lain marah. Demikian juga dengan Kiai Noer.
Dengan
kening berkerut, kiai bertanya:
“Kholil, kenapa waktu sholat tadi, kamu tertawa terbahak-bahak. Lupakah kamu
itu meengganggu kekhusukan sholat dan sholat kamu tidak syah?!” Kholil menjawab
dengan tenang, “Maaf, begini Kiai, waktu sholat tadi saya sedang melihat Kiai
sedang mengaduk-aduk nasi di bakul, karena itu saya tertawa. Sholat kok
mengaduk-aduk nasi. Salahkah yang saya lihat itu, kiai?” Jawab Kholil muda
dengan mantap dan sopan.
Kiai
Muhammad Noer terkejut. Kholil benar, Santri baru itu dapat membaca apa yang
terlintas di benaknya, Kiai Muhammad Noer duduk dengan tenang sambil menerawang
lurus ke depan, serta merta berbicara kepada santri kholil: “Kau benar anakku,
saat mengimami sholat tadi perut saya memang sedang lapar. Yang terbayang dalam
pikiran saya saat itu, memang hanya nasi, anakku,” ucap Kiai Muhammad Noer
secara jujur.
Sejak
kejadian itu kelebihan Kholil akhirnya menyebar. Bukan hanya terbatas di
pesantren Langitan, tetapi juga sampai ke pesantren lain di sekitarnya. Karena
itu, setiap kiai yang akan ditimba ilmunya oleh Kholil muda, maka para kiai itu
selalu mengistimewakannya.
Didatangi Macan
Pada suatu
hari di bulan syawal, Kiai Kholil tiba-tiba memanggil santri-santrinya.
“Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok
pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada macan
masuk ke pondok ini” kata Kiai Kholil agak serius.
Mendengar
tutur guru yang sangat dihormati itu, segera para santri mempersiapkan diri.
Waktu itu, sebelah timur Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat
dan angker. Hari demi hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang
ditunggu-tunggu belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke
pesantren seorang pemuda kurus tidak seberapa tinggi bertubuh kuning langsat
sambil menenteng kopor seng.
Sesampainya
di depan pintu rumah Kiai Kholil, lalu mengucap salam “Assalamu’alauikum”
ucapnya agak pelan dan sangat sopan.
Mendengar
salam itu, bukannya jawaban salam yang diterima, tetapi kiai malah berteriak
memanggil santrinya, hei… santri semua, ada macan…macan…ayo kita kepung. Jangan
sampai masuk pondok” seru Kiai Kholil bak seorang komandan di medan perang.
Mendengar
teriakan Kiai, kontan saja semua santri berhamburan, datang sambil membawa apa saja
yang ada, pedang, celurit, tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang baru
datang tadi yang mulai nampak pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu
langkah. Namun karena tekad ingin nyantri ke Kiai Kholil begitu menggelora,
maka keesokan harinya pemuda itu mencoba datang lagi. Begitu memasuki pintu
gerbang pesantren langsung disong-song dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga
keesokan harinya, baru pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini
memasuki pesantren secara diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda
itu, yang disertai rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah
kentongan surau.
Secara tidak
diduga, tengah malam, Kiai Kholil datang dan membangunkannya, karuan saja
dimarahi habis-habisan. Pemuda itu dibawa ke rumah Kiai Kholil, setelah
berbasa-basi dengan seribu alasan, baru pemuda itu lega setelah resmi diterima
sebagai santri Kiai Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab Hasbullah.
Seorang kiai
yang sangat alim, jagoan berdebat dan pembaharu pemikiran. Kehadiran KH. Wahab
Hasbullah dimana-mana selalu berwibawa dan disegani baik kawan maupun lawan
bagaikan seekor macan, seperti yang disyaratkan Kiai Kholil.
Ketinggalan
Kapal Laut
Kejadian ini
pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu satu-satunya angkutan yang menuju
Makkah. Semua penumpang calon haji naik ke kapal dan bersiap-siap, tiba-tiba
seorang wanita berbicara kepada suaminya :
“Pak tolong, saya belikan anggur, saya ingin sekali” ucap istrinya dengan memelas.
“Pak tolong, saya belikan anggur, saya ingin sekali” ucap istrinya dengan memelas.
“Baik, kalau
begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari anggur”. Jawab
suaminya dengan bergegas keluar dari kapal.
Setelah
suaminya keluar mencari anggur di sekitar anjungan kapal, nampaknya tidak
ditemuai pedagang anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke pasar. Untuk
memenuhi permintaan istrinya tercinta. Dan, meski agak lama, toh akhirnya
anggur itu didapat juga, betapa gembiranya sang suami mendapatkan anggur itu.
Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal laut untuk menemui istrinya.
Namun betapa
terkejutnya sesampai ke anjungan kapal. Pandangannya menerawang ke arah kapal
yang akan ditumpangi. Semakin lama kapal tersebut semakin menjauh. Sedih sekali
melihat kenyataan ini. Ia duduk termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat.
Di saat
duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki datang
menghampirinya. Dia memberikan nasehat: “Datanglah kamu kepada Kiai Kholil
Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu!” ucapnya dengan tenang.
“Kiai Kholil?” pikirnya. “Siapa dia?, Apa ia mesti harus kesana, bisakah dia menolong ketertinggalan saya dari kapal?” begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.
“Kiai Kholil?” pikirnya. “Siapa dia?, Apa ia mesti harus kesana, bisakah dia menolong ketertinggalan saya dari kapal?” begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.
“Segeralah
ke Kiai Kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang kamu alami,
Insyaallah.” Lanjut orang itu menutup pembicaraan. Tanpa pikir panjang lagi,
berangkatlah sang suami yang malang itu ke Bangkalan. Setibanya di kediaman
Kiai Kholil, langsung disambut dan ditanya:
“Ada keperluan apa?” Lalu, sang suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal hingga datang ke Kiai Kholil. Tiba-tiba Kiai berkata :
“Lho…ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan, sana … pergi”.
Lalu suami itu kembali dengan tangan hampa.
“Ada keperluan apa?” Lalu, sang suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal hingga datang ke Kiai Kholil. Tiba-tiba Kiai berkata :
“Lho…ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan, sana … pergi”.
Lalu suami itu kembali dengan tangan hampa.
Sesampainya
di pelabuhan, dia bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke
Kiai Kholil. Orang tersebut bertanya: Bagaimana? Sudah ketemu Kiai Kholil?
“Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan.” Katanya dengan nada putus asa.
“Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan.” Katanya dengan nada putus asa.
“Kembali
lagi, kembali lagi temui Kiai Kholil!” ucap orang yang menasehati dengan tegas
tanpa ragu. Maka sang suami yang malang itu pun kembali lagi ke Kiai Kholil.
Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ketiga kalinya, Kiai
Kholil berucap, “Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya bantu
sampeyan”.
“Terimakasih
Kiai” kata sang suami melihat secercah harapan.
“Tapi ada syaratnya” ucap Kiai Kholil.
“Saya akan penuhi semua syaratnya.” Jawab orang itu dengan bersungguh-sungguh.
“Tapi ada syaratnya” ucap Kiai Kholil.
“Saya akan penuhi semua syaratnya.” Jawab orang itu dengan bersungguh-sungguh.
Lalu Kiai
berpesan : “Setelah ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan jangan sampeyan
ceritakan pada orang lain, kecuali saya sudah meninggal, apakah sampeyan
sanggup?” pesan dan tanya Kiai seraya menatap tajam.
“Sanggup
Kiai, “jawabnya spontan.
“Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu. Pejamkan matamu rapat-rapat” kata Kiai Kholil.
“Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu. Pejamkan matamu rapat-rapat” kata Kiai Kholil.
Lalu, sang
suami melaksanakan perintah Kiai dengan patuh, setelah beberapa menit berlalu
dibukanya matanya dengan pelan-pelan. Betapa terkejutnya ia melihat apa yang
dihadapannya, ia sedang berada di atas kapal laut yang sedang berjalan.
Takjub,
heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang sedang dilihatnya.
Digosok-gosokkan matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi,
dirinya sedang berada di atas kapal. Segara ia ditemui isterinya di salah satu
ruang kapal.
“Ini
anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali” dengan senyuman penuh arti seakan
tidak terjadi apa-apa. Dan seolah-olah datang dari arah bawah kapal. Padahal,
sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali
ini dialami, sekali dalam hidupnya. Terbayang wajah Kiai Kholil. Dia baru
menyadari bahwa beberapa saat yang lalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan
dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar biasa
Santri Mimpi
Dengan Wanita
Pada suatu
hari menjelang pagi, santri bernama Bahar dari Sidogiri merasa gundah. Dalam
benaknya tentu pagi itu ia tidak bisa sholat subuh berjamaah.
Ketidakikutsertaan
Bahar sholat subuh berjamaah bukan karena malas. Tetapi disebabkan halangan
junub, semalaman Bahar bermimpi tidur dengan seorang wanita. Sangat dipahami
kegundahan Bahar sebab wanita itu adalah istri Kiai Kholil , istri gurunya.
Menjelang
subuh, terdengar Kiai Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya
berucap: “santri kurang ajar…, santri kurang ajar…”
Para santri
yang sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah merasa heran dan tanda tanya,
apa dan siapa yang dimaksud santri kurang ajar itu. Subuh itu Bahar memang
tidak ikut shalat berjamaah, tetapi bersembunyi di belakang pintu masjid.
Seusai
sholat subuh berjamaah Kiai Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri
seraya bertanya: Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?” ucap Kiai Kholil nada
menyelidik.
Semua santri merasa terkejut, tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan kiri, mencari tahu siapa yang tidak hadir, ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar, kemudian Kiai Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa ke masjid. Kiai Kholil menatap tajam-tajam kepada Bahar seraya berkata:
Semua santri merasa terkejut, tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan kiri, mencari tahu siapa yang tidak hadir, ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar, kemudian Kiai Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa ke masjid. Kiai Kholil menatap tajam-tajam kepada Bahar seraya berkata:
“Bahar,
karena kamu tidak hadir sholat subuh berjamaah maka kamu harus dihukum.
Tebanglah dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini,” perintah
Kiai Kholil (Petok adalah sejenis pisau kecil dipakai untuk menyabit rumput) .
Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus.
Dapat diduga
bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu dengan suatu alat yang sangat
sederhana sekali, tentu sangat kesulitan dan memerlukan tenaga serta waktu yang
lama sekali. Hukuman ini akhirnya diselesaikan dengan baik.
“Alhamdulillah,
sudah selesai Kiai,” ucap Bahar dengan sopan dan rendah hati.
“Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan itu sampai habis,” perintah Kiai kepada Bahar.
“Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan itu sampai habis,” perintah Kiai kepada Bahar.
Sekali lagi
santri Bahar dengan patuh dan gembira menerima hukuman dari Kiai Kholil.
Setelah Bahar menerima hukuman yang kedua, santri Bahar lalu disuruh makan
buah-buahan sampai habis yang ada di nampan itu. Setelah itu santri Bahar
diusir oleh Kiai Kholil seraya berucap:
“Hei santri,
semua ilmuku sudah dicuri orang ini,” ucap Kiai Kholil sambil menunjuk ke arah
Bahar dan Kiai Kholil pun memintanya untuk pulang kampung halamannya.
Memang
benar, tak lama setelah itu, santri yang mendapat isyarat mencuri ilmu Kiai
Kholil itu, menjadi Kiai yang alim, yang memimpin sebuah pondok besar di Jawa
Timur. Kiai yang beruntung itu bernama Kiai Bahar, seorang Kiai besar dengan
ribuan santri yang diasuhnya di pondok pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa
Timur.
Kiai Kholil
Masuk Penjara
Beberapa
pelarian pejuang kemerdekaan dari Jawa bersembunyi di pesantren Kiai Kholil.
Kompeni Belanda, rupanya mencium kabar itu. Tentara Belanda berupaya keras
untuk menangkap pejuang kemerdekaan yang bersembunyi itu.
Rencana
penangkapan diupayakan secepat mungkin. Setelah yakin bersembunyi di pesantren,
tentara Belanda memasuki pesantren Kiai Kholil. Seluruh pojok pesantren
digrebek. Ternyata tidak menemukan apa-apa. Hal itu membuat kompeni marah
besar, karena kejengkelannya akhirnya mereka membawa pimpinan pesantren, yaitu
Kiai Kholil untuk ditahan.
Dengan
siasat ini, mereka berharap dengan ditahannya Kiai Kholil, para pejuang segera
menyerahkan diri.
Ketika Kiai
Kholil dimasukkan ke dalam tahanan, maka beberapa peristiwa ganjil mulai
muncul. Hal ini membuat susah penjajah Belanda. Mula-mula ketika Kiai Kholil
masuk ke dalam tahanan, semua pintu tahanan tidak bisa ditutup.
Dengan
demikian, pintu tahanan dalam keadaan terbuka terus-menerus. Kompeni Belanda
harus berjaga siang dan malam secara terus-menerus. Sebab, jika tidak maka
tahanan bisa melarikan diri. Pada hari berikutnya, sejak Kiai Kholil ditahan,
ribuan orang dari Madura dan Jawa berdatangan untuk menjenguk dan mengirim
makanan ke Kiai Kholil.
Kejadian ini
membuat kompeni merasa kewalahan mengatur orang sebanyak itu. Silih berganti
setiap hari terus-menerus. Akhirnya, kompeni membuat larangan berkunjung ke
Kiai Kholil. Pelarangan itu ternyata tidak menyelesaikan masalah. Masyarakat
justru datang setiap harinya semakin banyak.
Para
pengunjung yang bermaksud berkunjung ke Kiai Kholil bergerombol di sekitar
rumah tahanan. Bahkan banyak yang minta ditahan bersama Kiai Kholil. Sikap
nekad para pengunjung Kiai Kholil ini jelas membuat Belanda makin kewalahan.
Kompeni
merasa khawatir, kalau dibiarkan berlarut-larut suasana akan semakin parah.
Akhirnya, daripada pusing memikirkan hal yang sulit dimengerti oleh akal itu,
kompeni Belanda melepaskan Kiai Kholil begitu saja.
Setelah
kompeni mengeluarkan Kiai Kholil dari penjara, baru semua kegiatan berjalan
sebagaimana biasanya. Demikian juga dengan pintu penjara sudah bisa ditutup
kembali serta para pengunjung yang berjubel disekitar penjara kembali pulang
kerumahnya masing-masing.
Residen
Belanda
Suatu hari
residen Belanda yang ditempatkan di Bangkalan mendapat suatu surat yang cukup
mengejutkan dari pemerintah kolonial Belanda di Jakarta. Surat tersebut berisi
tentang pemberhentian dirinya sebagai residen di Bangkalan.
Padahal,
jabatan itu masih diinginkan dalam beberapa saat. Residen ini sangat berbeda
dengan residen Belanda lainnya. Hati nurani residen ini tidak pernah menyetujui
adanya penjajahan oleh negaranya.
Untuk
mempertahankan posisinya, residen Belanda yang bersimpati kepada Indonesia ini
mau berkorban apa saja asalkan tetap memangku jabatan di Bangkalan. Kebetulan
sang residen mendengar kabar bahwa di Bangkalan ada orang yang pandai dan sakti
mandraguna. Tanpa pikir panjang lagi, sang residen segera pergi menemui orang
yang diharapkan kiranya dapat membantu mewujudkan keinginannya itu.
Maka,
berangkatlah sang residen itu ke Kiai Kholil dengan ditemani beberapa
koleganya. Sesampainya di kediaman Kiai Kholil, sang residen Belanda langsung
menyampaikan hajatnya itu. Kiai Kholil tahu siapa yang dihadapinya itu, lalu
dijawab dengan santai seraya berucap:
“Tuan
selamat….selamat, selamat,” ucapnya dengan senyum yang khas, Residen Belanda
merasa puas dengan jawaban Kiai Kholil dan setelah itu berpamitan pulang.
Selang
beberapa hari setelah kejadian itu, sang residen menerima surat dari pemerintah
Belanda yang isinya pencabutan kembali surat keputusan pemberhentian atas
dirinya. Betapa senangnya menerima surat itu. Dengan demikian, dirinya masih
tetap memangku jabatan di daerah Bangkalan.
Sejak
peristiwa itu, Kiai Kholil diberi kebebasan melewati seluruh daerah Bangkalan.
Bahkan Kiai Kholil bisa menaiki dokar seenaknya melewati daerah terlarang di
karesidenan Bangkalan tanpa ada yang merintanginya. Baik residen maupun aparat
Belanda semua menaruh hormat kepada Kiai Kholil. Seorang Kiai. Yang dianggap
memiliki kesaktian yang luas biasa.
Santri
Pencuri Pepaya
Pada suatu
hari, seorang santri berjalan-jalan di sekitar pondok pesantren kedemangan.
Kebetulan di dalam pesantren terdapat pohon pepaya yang buahnya sudah
matang-matang kepunyaan kiai.
Entah karena
lapar atau pepaya sedemikian merangsang seleranya, santri itu nekad bermaksud
mencuri pepaya tersebut. Setelah menengok ke kanan dan ke kiri, merasa dirinya
aman maka dipanjatlah pohoh pepaya yang paling banyak buahnya. Kemudian
dipetiknya satu persatu buah pepaya yang matang-matang itu. Setelah cukup
banyak santri itu kemudian turun secara perlahan-lahan.
Baru saja
kakinya menginjak tanah, ternyata sudah diketahui oleh beberapa santri, tak
ayal lagi santri yang mencuri pepaya itu dilaporkan kepada Kiai Kholil.
Kiai marah
besar kepada santri itu. Setelah itu disuruhnya dia memakan pepaya itu sampai
habis, dan akhirnya diusir dari pondok pesantren. Tak lama setelah kejadian itu
, santri yang diusir karena mencuri pepaya itu ternyata menjadi Kiai besar yang
alim.
Kealiman dan
ketenaran kiai tersebut sampai kepada pesantren kedemangan. Mendengar berita
menarik itu, beberapa santri ingin mengikuti jejaknya. Pada suatu hari,
beberapa santri mencoba mencuri pepaya di pesantren.
Dengan
harapan agar dimarahi kiai. Begitu turun dari pohon pepaya. Kontan saja petugas
santri memergokinya. Maka peristiwa itu dilaporkan kepada Kiai Kholil. Setelah
melihat beberapa saat kepada santri yang mencuri pepaya itu, seraya
Kiai
mengucap :
“Ya sudah,
biarlah” kata Kiai Kholil dengan nada datar tanpa ada marah tanpa ada
pengusiran.
“Wah, celaka saya tidak bisa menjadi kiai,” desah santri pencuri pepaya sambil
menangis menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya.
Orang Arab
Dan Macan Tutul
Suatu hari menjelang
sholat maghrib, seperti biasanya, Kiai Kholil mengimami jamaah sholat berjamaah
bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan Kiai Kholil mengimami sholat,
tiba-tiba beliau kedatangan tamu orang berbangsa Arab, orang
Madura
menyebutnya Habib.
Seusai melaksanakan sholat Kiai Kholil menemui tamu-tamunya termasuk orang arab yang baru datang yang mengetahui kefasihan bahasa Arab. Habib tadi menghampiri Kiai Kholil sambil berucap :
” Kiai . . . ,bacaan Al Fatihah (antum) kurang fasih”, tegur sang habib.
“O . . . begitu”, jawab Kiai Kholil tenang.
Seusai melaksanakan sholat Kiai Kholil menemui tamu-tamunya termasuk orang arab yang baru datang yang mengetahui kefasihan bahasa Arab. Habib tadi menghampiri Kiai Kholil sambil berucap :
” Kiai . . . ,bacaan Al Fatihah (antum) kurang fasih”, tegur sang habib.
“O . . . begitu”, jawab Kiai Kholil tenang.
Setelah
berbasa-basi, beberapa saat, habib dipersilahkan mengambil wudlu untuk
melaksakan sholat maghrib. “Tempat wudlu ada disebelah masjid itu. Habib,
Silahkan ambil wudlu disana”, ucap Kiai sambil menunjukan arah tempat wudlu.
Baru saja selesai berwudlu, tiba-tiba habib dikejutkan dengan munculnya macan
tutul.
Habib
terkejut dan berteriak dengan Bahasa Arabnya yang fasih untuk mengusir macan
tutul yang makin mendekat itu. Meskipun habib mengucapkan bahasa arab sangat
fasih untuk mengusir macan tutul , namun macan itu tidak pergi juga.
Mendengar
ribut-ribut disekitar tempat wudlu, Kiai Kholil datang menghampiri. Melihat ada
macan yang tampaknya penyebab keributan itu, Kiai Kholil mengucapkan sepatah
dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya, sang macan yang mendengar kalimat
yang dilontarkan Kiai Kholil yang nampaknya kurang fasih itu, macan tutul
bergegas menjauh.
Dengan
kejadian ini, habib paham bahwa sebetulnya Kiai Kholil bermaksud memberi
pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan bukan terletak antara fasih dan
tidak fasih, melainkan sejauh mana penghayatan makna dalam ungkapan itu.
Tongkat Kiai
Kholil dan Sumber Mata Air
Pada suatu
hari. Kiai Kholil berjalan kearah selatan Bangkalan. Beberapa santri
menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di desa Langgundi,
tiba-tiba Kiai Kholil menghentikan perjalanannya.
Setelah
melihat tanah di hadapannya, dengan serta merta Kiai Kholil menancapkan
tongkatnya ke tanah. Dari arah lubang bekas tancapan Kiai Kholil, memancar
sumber air yang sangat jernih.
Semakin lama
semakin besar, sumber air tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai
untuk minum dan mandi. Lebih dari itu, sumber mata airnya dapat menyembuhkan
berbagai macam penyakit. Kolam yang bersejarah itu, sampai sekarang masih ada.
Howang-Howing
Jadi Kaya
Suatu hari,
seorang Tionghoa bernama Koh Bun Fat sowan ke Kiai Kholil. Dia bermaksud untuk
meminta pertolongan kepada Kiai Kholil agar bisa terkabul hajatnya.
“Kiai, saya
minta didoakan agar cepat kaya. Saya sudah bosan hidup miskin”, kata Koh Bun
Fat dengan penuh harap.
Melihat permintaan Koh Bun Fat itu, kiai lantas memberi isyarat menyuruh mendekat. Setelah Koh Bun Fat dihadapan Kiai Kholil, tiba-tiba Kiai Kholil menarik tangan Koh Bun Fat dan memegangnya erat-erat seraya berucap :
“Saafu lisanatan. Howang-howang, hoing-hoing, Pak Wang, Howang Noang tur cetur, salang kacetur, sugih….. sugih….. sugih…..”, suara Kiai Kholil dalam bahasa yang tidak dimengerti.
Melihat permintaan Koh Bun Fat itu, kiai lantas memberi isyarat menyuruh mendekat. Setelah Koh Bun Fat dihadapan Kiai Kholil, tiba-tiba Kiai Kholil menarik tangan Koh Bun Fat dan memegangnya erat-erat seraya berucap :
“Saafu lisanatan. Howang-howang, hoing-hoing, Pak Wang, Howang Noang tur cetur, salang kacetur, sugih….. sugih….. sugih…..”, suara Kiai Kholil dalam bahasa yang tidak dimengerti.
Setelah
mendapat doa dari Kiai Kholil itu, Koh Bun Fat benar-benar berubah
kehidupannya, dari orang miskin menjadi kaya.
Obat Aneh
Di daerah
Bangkalan banyak terdapat binatang- binatang menyengat yang suka berkeliaran,
termasuk kalajengking yang sangat ganas.
Binatang ini
akan bertambah banyak bilamana musim hujan tiba, apalagi di malam hari. Pada
suatu malam, salah seorang warga Bangkalan disengat kalajengking. Bisa
kalajengking membuat bengkak bagian- bagian tubuhnya. Beberapa pengobatan telah
dilakukan namun hasilnya sia-sia. Ia hampir putus asa, sampai pada akhirnya,
ada seseorang yang menyarankan agar pergi menemui Kiai Kholil.
Akhirnya
diputuskan untuk menemui Kiai Kholil. “Kiai Kholil, saya disengat kala
jengking. Tolong obati saya”, ujarnya sambil memelas.
“Kesini!” kata Kiai Kholil.
“Kesini!” kata Kiai Kholil.
Lalu
dilihatnya bekas sengatan yang telah membengkak itu kemudian dipegangnya seraya
berucap dengan dalam bahasa Madura : “Palak-Pokeh,…. palak-pokeh,….beres,
beres”, ucap Kiai Kholil sambil menepuk-nepuk bekas sengatan kalajengking. Maka
seketika itu, orang itu sembuh, dan melihat hasil pengobatan dengan kesan lucu
itu, orang yang menyaksikan di sekitarnya tidak dapat menahan tawanya. Mereka
tertawa terpingkal-pingkal sambil meninggalkan ruangan itu (sumber informasi :
KH. Amin Imron, cucu Kiai Kholil Bangkalan).
Rumah Miring
Pada suatu
hari, Kiai Kholil mendapat undangan di pelosok Bangkalan . Hari jadi yang
ditentukan pun tiba. Para undangan yang berasal dari berbagai daerah
berdatangan. Semua tamu ditempatkan di ruang tamu yang cukup besar.
Walaupun
para tamu sudah datang semua, acara nampaknya belum ada tanda-tanda dimulai.
Menit demi menit berlalu beberapa orang tampaknya gelisah. Kenapa acara kok
belum dimulai. Padahal, menurut jadwal mestinya sudah dimulai. Tuan rumah
tampak mondar-mandir, gelisah. Sesekali melihat ke jalan sesekali menunduk.
Tampaknya menunggu kehadiran seseorang.
Menunggu acara belum dimulai si fulan tidak sabar lagi. Fulan yang dikenal sebagai jagoan di daerah itu, berdiri lalu
Menunggu acara belum dimulai si fulan tidak sabar lagi. Fulan yang dikenal sebagai jagoan di daerah itu, berdiri lalu
berkata :
“Siapa sih yang ditunggu-tunggu kok belum dimulai? Kata si jagoan sambil membentak.
“Siapa sih yang ditunggu-tunggu kok belum dimulai? Kata si jagoan sambil membentak.
Bersamaan
dengan itu datang sebuah dokar, siapa lagi kalau bukan Kiai Kholil yang
ditunggu-tunggu.
“Assalamu’alaikum”,
ucap Kiai Kholil sambil menginjakkan kakinya ke lantai tangga paling bawah
rumah besar itu.
Bersamaan dengan injakan kaki Kiai Kholil, gemparlah semua undangan yang hadir. Serta-merta rumah menjadi miring.
Bersamaan dengan injakan kaki Kiai Kholil, gemparlah semua undangan yang hadir. Serta-merta rumah menjadi miring.
Para
undangan tercekam tidak berani menatap Kiai Kholil. Si fulan yang terkenal
jagoan itu ketakutan, nyalinya menjadi kecil melihat kejadian yang selama hidup
baru dialami saat itu.
Setelah
beberapa saat kejadian itu berlangsung kiai mengangkat kakinya. Seketika itu,
rumah yang miring menjadi tegak seperti sedia kala. Maka berhamburanlah para
undangan yang menyambut dan menyalami Kiai Kholil.
Akhirnya
fulan yang jagoan itu menjadi sadar, bahwa dirinya kalah. Dirinya terlalu
sombong sampai begitu meremehkan seorang ulama seperti Kiai Kholil. Fulan lalu
menyongsong Kiai Kholil dan meminta maaf.
Kiai Kholil
memaafkan, bahkan mendoakan. Do’a Kiai Kholil terkabul, Fulan yang dulu seorang
jagoan yang ditakuti di daerah itu, akhirnya menjadi seorang yang alim. Bahkan,
kini si fulan menjadi panutan masyarakat daerah itu. Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar