Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. membuka lembaran kehidupan rumah
tangganya dengan Aisyah yang telah banyak dikenal. Aisyah laksana lautan luas
dalam kedalaman ilmu dan takwa. Di kalangan wanita, dialah sosok yang banyak
menghafal hadits-hadits Nabi, dan di antara istri-istri Nabi,
dia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki istri Nabi yang lain. Ayahnya adalah sahabat dekat Rasulullah yang menemani beliau hijrah. Berbeda dengan istri Nabi yang lain, kedua orang tua Aisyah melakukan hijrah bersama Rasulullah.
dia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki istri Nabi yang lain. Ayahnya adalah sahabat dekat Rasulullah yang menemani beliau hijrah. Berbeda dengan istri Nabi yang lain, kedua orang tua Aisyah melakukan hijrah bersama Rasulullah.
Ketika wahyu datang kepada Rasulullah, Jibril membawa kabar bahwa Aisyah
adalah istrinya di dunia dan akhirat, sebagaimana diterangkan di dalam hadits
riwayat Tirmidzi dari Aisyah :
‘Jibril datang membawa gambarnya pada sepotong sutera hijau kepada Nabi
Shallallahu alaihi wassalam., lalu berkata, ini adalah istrimu di dunia dan
akhirat.”
Dialah yang menjadi sebab atas turunnya firman Allah yang menerangkan
kesuciannya dan membebaskannya dari fitnah orang-orang munafik.
Nasab dan Masa KeciI Aisyab
Aisyah adalah putri Abdullah bin Quhafah bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad
bin Tamim bin Marrah bin Ka’ab bin Luay, yang lebih dikenal dengan nama Abu
Bakar ash-Shiddiq dan berasal dari suku Quraisy at-Taimiyah al-Makkiyah.
Ayahnya adalah ash-Shiddiq dan orang pertama yang mempercayai Rasulullah ketika
terjadi Isra’ Mi’raj, saat orang-orang tidak mempercayainya.
Menurut riwayat, ibunya bernama Ummu Ruman. Akan tetapi, riwayat-riwayat lain
mengatakan bahwa ibunya adalah Zainab atau Wa’id binti Amir bin Uwaimir bin Abdi
Syams. Aisyah pun digolongkan sebagai wanita pertama yang masuk Islam,
sebagaimana perkataannya, “Sebelum aku berakal, kedua orang tuaku sudah
menganut Islam.”
Ummu Ruman memberikan dua orang anak kepada Abu Bakar, yaitu Abdurrahman dan
Aisyah. Anak Iainnya, yaitu Abdullah dan Asma, berasal dan Qatlah binti Abdul
Uzza, istri pertama yang dia nikahi pada masa jahiliyah. Ketika masuk Islam, Abu
Bakar menikahi Asma binti Umais yang kemudian melahirkan Muhammad, juga menikahi
Habibah binti Kharijah yang melahirkan Ummu Kultsum. Aisyah dilabirkan empat
tahun sesudah Nabi diutus menjadi Rasulullah. Ketika dakwah Islam dihambat oleh
orang-orang musyrik, Aisyah melihat bahwa ayahnya menanggung beban yang sangat
besar. Semasa kecil dia bermain- main dengan lincah, dan ketika dinikahi
Rasulullah usianya belum genap sepuluh tahun. Dalam sebagian besar riwayat
disebutkan bahwâ Rasulullah membiarkannya bermain-main dengan
teman-temannya.
Pernikahan yang Penuh
Berkah
Dua tahun setelah wafatnya Khadijah r.a, datang wahyu kepada Nabi Shallallahu
alaihi wassalam. untuk menikahi Aisyah.
Setelah itu Rasulullah berkata kepada Aisyah, “Aku melihatmu dalam
tidurku tiga malam berturut-turut. Malaikat mendatangiku dengan membawa gambarmu
pada selembar sutera seraya berkata, ‘Ini adalah istrimu.’ Ketika aku membuka
tabirnya, tampaklah wajahmu. Kemudian aku berkata kepadanya, ‘Jika ini benar
dari Allah, niscaya akan terlaksana.” Mendengar kabar itu, Abu Bakar dan
istrinya sangat senang, terlebih lagi ketika Rasulullah setuju menikahi putri
mereka, Aisyah. Beliau mendatangi rumah mereka dan berlangsunglah pertunangan
yang penuh berkah itu. Setelah pertunangan itu, Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam. hijrah ke Madinah bersama para sahabat, sementara istri-istri beliau
ditinggalkan di Mekah. Setelah beliau menetap di Madinah, beliau mengutus orang
untuk menjemput mereka, termasuk di dalamnya Aisyah . Karena cuaca buruk yang
melanda Madinah, Aisyah sakit keras dan badannya menyusut seperti juga dialami
orang-orang Muhajirin.
Menyaksikan hal itu, Rasulullah berdoa, “Ya Allah, jadikanlah karni
sebagai orang yang mencintai Madinah sebagaimana cinta kami kepada Mekah, atau
bahkan lebih lagi. Sembuhkanlah penghuninya dan penyakit. Berikanlah keberkahan
kepada kami dalam timbangan dan takarannya. Lindungilah kami dan penyakit, dan
alihkanlah penyakit itu ke Juhfah.” Allah mengabulkan doa Rasulullah, dan
cuaca berangsur membaik, sehingga hilanglah penyakit yang melanda kaum
muhajirin. Aisyah pun sembuh dan bersiap-siap menghadapi hari pernikahan dengan
Rasuhillah Shallallahu alaihi wassalam.
Dengan izin Allah menikahlah Aisyah dengan maskawin lima ratus dirham. Ketika
ditanya oleh Abu Salamah bin Abdurrahman tentang jumlah mahar yang diberikan
Rasulullah:
“Aisyab menjawab, Mahar Rasulullah kepada istri-irstrinya adalah dua
belas uqiyah dan satu nasy. Tahukah kamu satu nasy itu? Dijawab, Tidak. Kemudian
lanjut Aisyah. Satu nasy itu sama dengan setengah uqiyah, yaitu lima ratus
dirham. Maka inilah mahar Rasulullah terhadap istri-istri beliau.“ (HR.
Muslim)
Istri Kecintaan Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam.
Aisyah tinggal di kamar yang berdampingan dengan Masjid Nabawi. Di kamar
itulah wahyu banyak turun, sehingga kamar itu disebut juga sebagai tempat
turunnya wahyu. Di hati Rasulullah, kedudukan Aisyah sangat istimewa, dan itu
tidak dialami oleh istri-istri beliau yang lain. Di dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Anas bin Malik dikatakan, “Cinta pertama yang terjadi di
dalam Islam adalah cintanya Rasulullah kepada Aisyah.”
Di dalam riwayat Tirmidzi dikisahkan, “Bahwa ada seseorang yang menghina
Aisyah di hadapan Ammar bin Yasir sehingga Ammar berseru kepadanya, ‘Sungguh
celaka kamu. Kamu telab menyakiti istri kecintaan Rasulullah’.”
Selain itu ada juga kisah lain yang menunjukkan besarnya cinta Nabi kepada
Aisyah, dan itu sudah diketahui oleh kaurn muslimin saat itu. Oleh karena itu,
kaum muslimin senantiasa menanti-nanti datangnya hari giliran Rasulullah pada
Aisyah sebagai hari untuk menghadiahkan sesuatu kepada Nabi Shallallahu alaihi
wassalam. Keadaan seperti itu menimbulkan kecemburuan di kalangan istri
Rasulullah lainnya. Tentang hal itu Aisyah pernah berkata :
“Orang-orang berbondong-bondong memberi hadiah pada hari giliran
Rasulullah padaku. Karena itu, teman-temanku (istri Nabi yang lainnya) berkumpul
di tempat Ummu Salamah. Mereka berkata, ‘Hai Ummu Salamah, demi Allah,
orang-orang berbondong-bondong mernberikan hadiah pada hari giliranRasulullah di
rumah Aisyah, sedangkan kita juga ingin rnemperoleh kebaikan sebagaimana yang
diinginkan oleh Aisyah.’ Melihat reaksi seperti itu, Rasulullah meminta kaum
muslimin untuk memberikan hadiah kepada beliau pada hari giliran istri
Rasulullah yang mana saja. Ummu Salamah pun telah menyatakan keberatan kepada
Rasulullah. Dia berkata, “Rasulullah berpaling dariiku. Ketika beliau mendatangi
aku, akupun kernbali mernperingatkan hal itu, tetapi beliau berbuat hal yang
serupa. Ketika aku rnenginatkan beliau untuk yang ketiga kalinya, beliau tetap
berpaling dariku, sehingga akhirnya beliau bersabda, ‘Demi Allah, wahyu tidak
turun kepadaku selama aku berada di dekat kalian, kecuali ketika aku dalam satu
selimut bersama Aisyah.” (HR. Muslim)
Sekalipun perasaan cemburu istri-istri Rasulullah terhadap Aisyah sangat
besar, mereka tetap menghargai kedudukan Aisyah yang sangat terhormat. Bahkan
ketika Aisyah wafat, Ummu Salamah berkata, ”Demi Allah, dia adalah manusia
yang paling beliau cintai setelah ayahnya (Abu Bakar).”
Suatu waktu, Rasulullah ditanya oleh Amru bin ‘Aash, “Siapakah manusia
yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab, “Aisyah!” Amru bertanya lagi, “Dan
dari kalangan laki-laki?” Beliau menjawab, “Ayahnya!” (Hadits
muttafaqirn ‘alaihi)
Di antar istri-istri Rasulullah, Saudah binti Zum’ah sangat memahami
keutamaan- keutamaan Aisyah, sehingga dia merelakan seluruh malam bagiannya
untuk Aisyah.
Suatu hari Shafiyah bin Huyay meminta kerelaan Rasulullah melalui Aisyah,
yaitu sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Aisyah.
“Suatu ketika Rasulullah enggan mendekati Shafiyah binti Huyay bin Ahthab.
Karena itu Shafyyah berkata kepada Aisyah, ‘Hai Aisyah, apakah engkau dapat
merelakan Rasulullah kepadaku? Dan engkau akan mendapatkan hari bagianku.
‘Aisyab menjawab, ‘Ya!’ Kernudian Aisyah mengambil kerudung yang ditetesi
za’faran dan disiram dengan air agar lebih harum. Setelah itu dia duduk di
sebelah Rasulullah, narnun beliau bersabda, ‘Ya Aisyah, menjauhlah engkau
dariku. Hari ini bukan hari bagianmu. ‘Aisyab berkata, ‘Ini adalah keutamaan
yang diberiikan Allah kepada dia yang dikehendaki-Nya.’ Aisyah kemudian
menceritakan duduk permasalahannya dan Rasulullah pun rela kepada Shafyyah.”
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Aisyah sangat memperhatikan sesuatu
yang menjadikan Rasulullah rela. Dia menjaga agar jangan sampai beliau menemukan
sesuatu yang tidak menyenangkan darinya. Karena itu, salah satunya, dia
senantiasa mengenakan pakaian yang bagus dan selalu berhias untuk Rasulullah.
Menjelang wafat, Rasulullah meminta izin kepada istri-istrinya untuk
beristirahat di rumah Aisyah selama sakitnya hingga wafatnya. Dalam hal ini
Aisyah berkata, “Merupakan kenikmatan bagiku karena Rasulullah wafat di
pangkuanku.”
Fitnah Terhadapnya
Aisyah pernah mengalami fitnah yang mengotori lembaran sejarah kehidupan
sucinya, hingga turun ayat Al-Q ur’an yang menerangkan kesucian dirinya.
Kisahnya bermula dari sini. Seperti biasanya, sebelum berangkat perang,
Rasulullah mengundi istrinya yang akan menyertainya berperang. Ternyata undian
jatuh kepada Aisyah, sehingga Aisyah yang menyertai beliau dalam Perang Bani
al-Musthaliq. Saat itu bertepatan dengan turunnya perintah memakai hijab.
Setelah perang selesai dan kaum muslimin memetik kemenangan, Rasulullah kembali
ke Madinah. Ketika tentara Islam tengah beristirahat di sebuah pelataran, Aisyah
masih berada di dalam sekedup untanya. Pada malam harinya, Rasulullah
mengizinkan rombongan berangkat pulang. Ketika itu Aisyah pergi untuk hajatnya,
dan kembali.
Ternyata, kalung di lehernya jatuh dan hilang, sehingga dia keluar dan
sekedup dan mencari-cari kalungnya yang hilang. Ketika pasukan siap berangkat,
sekedup yang mereka angkat ternyata kosong. Mereka mengira Aisyah berada di
dalam sekedup. Setelah kalungnya ditemukan, Aisyah kembali ke pasukan, namun
alangkah kagetnya karena tidak ada seorang pun yang dia temukan. Aisyah tidak
meninggalkan tempat itu, dan mengira bahwa penuntun unta akan tahu bahwa dirinya
tidak berada di dalamnya, sehingga mereka pun akan kembali ke tempat semula.
Ketika Aisyah tertidur, lewatlah Shafwan bin Mu’thil yang terheran-heran melihat
Aisyah tidur. Dia pun mempersilakan Aisyah menunggangi untanya dan dia menuntun
di depannya. Berawal dari kejadian itulah fitnah tersebar, yang disulut oleh
Abdullah bin Ubay bin Salul.
Ketika tuduhan itu sarnpai ke telinga Nabi, beliau mengumpulkan para sahabat
dan meminta pendapat mereka. Usamah bin Zaid berkata, “Ya Rasulullah, dia adalah
keluargamu … yang kau ketahui hanyalah kebaikan semata.“ Ali juga berpendapat,
“Ya Rasulullah, Allah tidak pernah mempersulit engkau. Banyak wanita selain
dia.” Dari perkataan Ali, ada pihak yang memperuncing masalah sehingga
terjadilah pertentangan berkelanjutan antara Aisyah dan Ali. Mendengar
pendapat-pendapat dari para sahabat Nabi, bentambah sedihlah Aisyah, terlebih
setelah dia melihat adanya perubahan sikap pada diri Nabi.
Ketika Aisyah sedang duduk-duduk bersarna orang tuanya, Rasulullah
menghampirinya dan bersabda:
“Wahai Aisyah aku mendengar berita bahwa kau telah begini dan begitu.
Jika engkau benar-benar suci, niscaya Allah akan menyucikanmu. Akan tetapi, jika
engkau telah berbuat dosa, bertobatlah dengan penuh penyesalan, niscaya Allah
akan mengampuni dosamu.” Aisyah menjawab, “Demi Allah, aku tahu bahwa engkau
telah mendengar kabar inmi, dan ternyata engkau mempercayainya. Seandainya aku
katakan bahwa aku tetap suci pun, niscaya hanya Allahlah yang mengetahui
kesucianku, dan tentunya engkau tak akan mempercayaiku. Akan tetapi, jika aku
mengakui perbuatan itu, sedangkan Allah mengetahui bahwa aku tetap suci, maka
kau akan mempercayai perkataanku. Aku hanya dapat mengatakan apa yang dikatakan
Nabi Yusuf, ‘Maka bersabar itu lebih baik’. Dan Allah pula yang akan menolong
atas apa yang engkau gambarkan.”
Aisyah sangat mengharapkan Allah menurunkan wahyu berkaitan dengan
masalahnya, namun wahyu itu tidak kunjung turun. Baru setelah beberapa saat,
sebelum seorang pun meninggalkan rumah Rasulullah, wahyu yang menerangkan
kesucian Aisyah pun turun kepada beliau. Rasulullah segera menemui Aisyah dan
berkata, “Hai Aisyah, Allah telah menyucikanmu dengan firman-Nya :
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari
golongan kamu juga. janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu
bahkan ia adalah baik bagi kamu. tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat
Balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa di antara mereka yang mengambil
bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang
besar.” (QS. An-Nuur : 11)
Demikianlah kemulian yang disandang Aisyah, sehingga bertambahlah kemuliaan
dan keagungannya di hati Rasulullah.
Perjalanan Hidup yang
Mulia
Pada hakikatnya, setiap manusia memiliki kelemahan, begitu juga halnya dengan
Aisyah, yang selain memiliki kehormatan dan martabat juga memiliki kekurangan.
Dalam hal ini dia pernah berkata,
“Aku tidak pernah melihat pembuat makanan seperti Shafiyyah. Dia selalu
menghadiahi makanan kepada Rasulullah. Tanpa sadar aku pernah memecahkan tempat
makanan yang dibawa Shafiyyah. Aku bertanya kepada Rasulullah apa yang dapat
dijadikan sebagai tempat yang pecah itu. Rasulullab menjawab, ‘Tempat diganti
dengan tempat dan makanan diganti dengan makanan.“ (HR.
Bukhari)
Aisyah pernah berkata :
“Halah binti Khuwailid, saudara perempuan Khadijah, meminta izin kepada
Rasulullah. Ketika itu Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. merasa bahwa cara
Halah meminta izin sama dengan cara Khadijah meminta izin, dan beliau merasa
senang atas semua itu. Lalu beliau berkata, ‘Ya Allah, inilah Halah binti
Khuwailid.’ Aku berkata, ‘Apa yang engkau sebut itu adalab seorang nenek dari
nenek-nenek kaum Quraisy, yang kedua sudut mulutnya merah. Dia telah tua renta
ditelan masa.
Semoga Allah memberi untukmu pengganti yang lebih baik daripada dia.‘
Mendengar itu Rasulullah menjawab, ‘Allah tidak akan memberikan pengganti yang
lebib baik darpada Khadijah. Dia telah beriman kepadaku ketika orang lain
mengingkariku. Dia telah mempercayaiku ketika orang lain mendustakanku. Dia
telah mendermakan harta bendanya untuk perjuanganku ketika orang lain menolak
memberikan harta mereka. Allah telah memberkahiku dengan putra-putri lewat
Khadijah ketika yang lain tidak memberiku anak.” (HR. Ahmad dan
Muslim)
Terdapat beberapa pendirian yang tegas dan pemecahan problema hukum yang
penting, baik khusus yang berkaitan dengan wanita maupun secara umum yang
berkaitan dengan kehidupan kaum muslimin secara umum. Diriwayatkan bahwa pada
zaman dahulu seorang laki-laki dapat menceraikan istrinya dengan sekehendak
hati. Wanita itu akan kembali menjadi istrinya jika suaminya membujuk kembali
dalam keadaan iddah, sekalipun dia telah menceraikannya seratus kali. Bahkan
suami itu berkata kepada istrinya, “Demi Allah, aku akan menceraikanmu
sehingga engkau menjadi jelas, dan aku tidak akan memberimu nafkah
selamanya”.
Istrinya menemui Aisyah dan menceritakan. Dia menjawab, Aku menceraikanmu
jika iddahmu hampir berakhir, dan jika engkau telah suci kembali, aku akan
merujukmu kembali. Istrinya menemui Aisyah dan menceritakan masalah yang
dihadapinya. Aisyah terdiarn hingga Rasulullah datang. Beliau pun diam tidak
dapat menyelesaikan masalah tersebut hingga turunlah ayat :
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelab itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma‘ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik….”
(al-Baqarah : 229)
Dalam penetapan hukum pun, Aisyah kerap langsung menemui wanita-wanita yang
melanggar syariat Islam. Suatu ketika dia mendengar bahwa kaum wanita dari
Hamash di Syam mandi di tempat pemandian umum. Aisyah mendatangi mereka dan
berkata,
“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. bersabda,
‘Perempuan yang menanggalkan pakaiannya di rumah selain rumah suaminya maka dia
telah membuka tabir penutup antara dia dengan Tuhannya.“ (HR. Ahmad, Abu
Daud, dan Ibnu Majah)
Aisyah pun pernah menyaksikan adanya perubahan pada pakaian yang dikenakan
wanita-wanita Islam setelah Rasulullah wafat. Aisyah menentang perubahan
tersebut seraya berkata, “Seandainya Rasulullah melihat apa yang terjadi
pada wanita (masa kini), niscaya beliau akan melarang mereka memasuki masjid
sebagaimana wanita Israel dilarang memasuki tempat ibadah mereka.”
Di dalam Thabaqat Ibnu Saad mengatakan bahwa Hafshah binti Abdirrahman
menemui Ummul-Mukminin Aisyah . Ketika itu Hafsyah mengenakan kerudung tipis.
Secepat kilat Aisyah menarik kerudung tersebut dan menggantinya dengan kerudung
yang tebal.
Hadist yang Diriwayatkan
'Aisyah
Aisyah memiliki wawasan ilmu yang luas serta menguasai masalah-masalah
keagamaan, baik yang dikaji dari Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi, maupun ilmi
fikih. Tentang masalah ilmu-ilmu yang dimiliki Aisyah ini, di dalam
Al-Mustadrak, al-Hakim mengatakan bahwa sepertiga dari hukum-hukum syariat
dinukil dan Aisyah. Abu Musa al-Asya’ari berkata, “Setiap kali kami menemukan
kesulitan, kami temukan kemudahannya pada Aisyah.” Para sahabat sering meminta
pendapat jika menemukan masalah yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri.
Aisyah pun sering mengoreksi ayat, hadits, dan hukum yang keliru diberlakukan
untuk kemudian dijelaskan kembali maksud yang sebenarnya. Salah satu contoh
adalah perkataan yang diungkapkan oleh Abu Hurairah.
Ketika itu Abu Hurairah merujuk hadits yang diriwayatkan oleh Fadhi ibnu
Abbas bahwa barang siapa yang masih dalam keadaan junub pada terbit fajar, maka
dia dilarang berpuasa. Ketika Abu Hurairah bertanya kepada Aisyah, Aisyah
menjawab, “Rasulullah pernah junub (pada waktu fajar) bukan karena mimpi,
kemudian beliau meneruskan puasanya.” Setelah mengetahui hal itu, Abu Hurairah
berkata, “Dia lebih mengetahui tentang keluarnya hadits tersebut.” Kamar Aisyah
lebih banyak berfungsi scbagai sekolah, yang murid-muridnya berdatangan dari
segala penjuru untuk menuntut ilmu. Bagi murid yang bukan mahramnya, Aisyah
senantiasa membentangkan kain hijab di antara mereka. Aisyah tidak pernah
mempermudah hukum kecuali jika sudah jelas dalilnya dari A1-Qur’an dan
Sunnah.
Aisyah adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah sehingga banyak
menyaksikan turunnya wahyu kepada beliau, sebagairnana perkataannya ini :
“Aku pernah melihat wahyu turun kepada Rasulullah pada suatu hari yang
sangat dingin sehingga beliau tidak sadarkan diri, sementara keringat bercucuran
dari dahi beliau.“ (HR. Bukhari)
Aisyah pun memiliki kesempatan untuk bertanya langsung kepada Rasulullah jika
menemukan sesuatu yang belum dia pahami tentang suatu ayat. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa dia memperoleh ilmu langsung dan Rasulullah sebagaimana
ungkapannya ini :
“Aku bertanya kepada Rasulullah tentang ayat ‘Dan orang-orang yang
memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut….’ (QS.
Al-Mu’minun: 60). Apakah yang dimaksud dengan ayat di atas adalah para
peminum khamar dan pencuri?” Beliau menjawab, ‘Bukan, putri ash-Shiddiq! Mereka
adalah orang yang berpuasa, shalat, dan bersedekah, tetapi takut (amal mereka
tidak diterima). Mereka menyegerakan diri dalam kebaikan, tetapi mendahului
(menentukan sendiri) kebaikan tersebut.” (HR. Ibnu Majah dan
Tirmidzi).
Aisyah berkata lagi: “Aku bertanya kepada Rasulullah tentang firman
Allah: ‘Yauma tabdalul-ardhu ghairal-ardha was-samawati. Di manakah manusia
berada, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Manusia berada di atas shirath.“
(HR. Muslim)
Aisyah termasuk wanita yang banyak menghafalkan hadits-hadits Nabi
Shallallahu alaihi wassalam, sehingga para ahli hadits menernpatkan dia pada
urutan kelima dari para penghafal hadits setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas
bin Malik, dan Ibnu Abbas. Aisyah memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki
siapa pun, yaitu meriwayatkan hadits yang langsung dia peroleh dan Rasulullah
dan menghafalkannya di rumah. Karena itu, sering dia meriwayatkan hadits yang
tidak pernah diriwayatkan oleh perawi hadits lain. Para sahabat penghafal hadits
sering mengunjungi rurnah Aisyah untuk langsung memperoleh hadits Rasulullah
karena kualitas kebenarannya sangat terjamin. Jika berselisih pendapat tentang
suatu masalah, tidak segan-segan mereka meminta penyelesaian dari Aisyah. Qasim
bin Muhammad bin Abu Bakar, anak saudara laki-laki Aisyah, mengatakan bahwa pada
masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman, Aisyah rnenjadi penasihat
pemerintah hingga wafat.
Aisyah dikenal sebagai perawi hadits yang mengistinbath hukum sendiri ketika
kejelasan hukumnya tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan hadits lain. Dalam hal
ini, Abu Salamah berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang yang lebih
mengetahui Sunnah Rasulullah, lebih benar pendapatnya jika dia berpendapat,
lebih mengetahui bagaimana Al-Qur’an turun, serta lebih mengenal kewajibannya
selain Aisyah.”
Suatu ketika Saad bin Hisyam menemui Aisyah, dan berkata, “Aku ingin bertanya
tentang bagaimana pendapatmu jika aku tetap membujang selarnanya.” Aisyah
menjawab, “Janganlah kau lakukan hal itu, karena aku mendengar Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam. bersabda tentang firman Allah: ‘Telah kami utus
rasul-rasul sebelummu, dan Kami telah ciptakan bagi mereka istri-istri dan
keturunan.’ Oleh karena itu, janganlah kamu membujang.” Urwah bin Zubeir, salah
seorang murid Aisyah, sangat mengagumi keluarbiasaan penguasaan ilmu Aisyah. Dia
berkata, “Aku berpikir tentang urusanmu. Sungguh aku mengagumimu. Menurutku
engkau adalah manusia yang paling banyak mengetahui sesuatu.”
Aisyah berkata, “Apa yang menyebabkanmu berpendapat seperti itu?” Dia
menjawab, “Engkau adalah istri Nabi Shallallahu alaihi wassalam dan putri Abu
Bakar. Engkau mengetahui hari-hari, nasab, dan syair orang-orang Arab.” Dia
berkata lagi, “Apa yang menyebabkan engkau dan ayahmu menjadi orang yang paling
pandai dariipada seluruh orang Quraisy? Aku sangat mengagumi kepandaianmu
tentang ilmu medis. Dari manakah engkau mendapatkan ilmu itu?” Aisyah menjawab,
“Wahai Urwah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. sering sakit,
sehingga dokter-dokter Arab dan bukan Arab datang mengobati beliau. Dari
merekalah aku belajar.”
Tentang penguasaan bahasa dan sastranya, kembali Urwah berkomentar, “Demi
Allah, aku belum pernah melihat seorang pun yang lebih fasih dariipada Aisyah
selain Rasulullah sendiri.” Al-Ahnaf bin Qais berkata, “Aku telah mendengar
khutbah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Alii bin Abi Thalib.
Hingga saat ini aku belum pernah mendengar satu perkataan pun dari makhluk Tuhan
yang lebih berisi dan baik daripada perkataan Aisyah.” Salah satu contoh
kefasihannya dapat kita lihat dari kata-katanya pada kuburan ayahnya, Abu Bakar
:
“Allah telah mengilaukan wajahmu, dan bersyukur atas kebaikan yang telah
engkau perbuat. Engkau merendahkan dunia karena engkau berpaling darinya. Akan
tetapi, untuk engkau adalah mulia, karena engkau selalu menghadap untuknya.
Kalau peristiwa terbesar setelah Rasulullah wafat dan musibah terbesar adalah
kematianmu, Kitab Allah rnenghibur dengan kesabaran dan menggantikan yang baik
selainmu. Aku merasakan janji Allah yang telah ditetapkan bagirnu dan ikhlas
atas kepergianmu. Dengan memohon dari-Nya gantimu dan aku berdoa untukmu. Kami
hanyalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali. Bagimu salam sejahtera dan
rahmat Allah.”
Dari Aisyah pun sering keluar kata-kata hikmah yang terkenal, seperti :
“Bagi Allah mutiara takwa. Takkan ada kesembuhan bagi orang yang di
dalarn hatinya terbersit kemarahan. Pernikahan adalah perbudakan, maka seseorang
hendaklah melihat kepada siapa dia mengabdikan putri kemuliaannya.”
Rasulullah Wafat dan Dikuburkan di
Kamarnya
Bagi Aisyah, menetapnya Rasulullah selama sakit di kamarnya merupakan
kehormatan yang sangat besar karena dia dapat merawat beliau hingga akhir hayat.
Di bawah ini dia melukiskan detik-detik terakhir beliau menjelang wafat :
“Sungguh merupakan nikmat Allah bagiku, Rasulullab wafat di rurnahku pada
hariku dan dalam dekapanku. Allah telah menyatukan ludahku dan ludah beliau
menjelang wafat. Abdurrahman menemuiku, di tangannya tergenggam siwak, sementara
aku menyandarkan beliau. Aku melihat beliau menoleh ke arah Abdurrahman, aku
segera memahami bahwa beliau menyukai siwak. Aku berbisik kepada beliau,
‘Bolehkah aku haluskan siwak untukmu?’ beliau memberi isyarat dengan kepala,
sepertinya mengisyaratkan ‘ya’. Kemudian beliau menyuruhku menghentikan
menghaluskan siwak, sernentara di tangan beliau ada bejana berisi air. Beliau
mernasukkan kedua belab tangan dan mengusapkannya ke wajah seraya berkata, ‘Laa
ilaaha illahu… setiap kematian mengalami sekarat (beliau mengangkat tangannya)…
pada Allah Yang Maha Tinggi. ‘Beliau menggenggam tangan dan perlahan-lahan
tangan beliau jatuh ke bawab.“ (HR. Muttafaq Alaih)
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. dikuburkan di kamar Aisyah, tepat di
tempat beliau meninggal. Sementara itu, dalam tidurnya, Aisyah melihat tiga buah
bulan jatuh ke kamarnya. Ketika dia memberitahukan hal itu kepada ayahnya, Abu
Bakar berkata, “Jika yang engkau lihat itu benar, maka di rumahmu akan
dikuburkan tiga orang yang paling mulia di muka bumi.” Ketika Rasulullah wafat,
Abu Bakar berkata, “Beliau adalah orang yang paling mulia di antara ketiga
bulanmu.” Ternyata Abu Bakar dan Umar dikubur di rumah Aisyah.
Setelah Rasulullah
Wafat
Setelah Rasulullah wafat, Aisyah senantiasa dihadapkan pada cobaan yang
sangat berat, namun dia menghadapinya dengan hati yang sabar, penuh kerelaan
terhadap takdir Allah, dan selalu berdiam diri di dalam rumah semata-mata untuk
taat kepada Allah. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu, dan dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah
berrnaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul-bait, dan membersihkan
kamu sebersih- bersihnya.” (QS. Al-Ahzab:33)
Rumah Aisyah senantiasa dikunjungi orang-orang dari segala penjuru untuk
menimba ilmu atau untuk berziarah ke makam Nabi Shallallahu alaihi wassalam.
Ketika istri-istri Nabi hendak mengutus Utsman menghadap Khalifàh Abu Bakar
untuk menanyakan harta warisan Nabi yang merupakan bagian mereka, Aisyah justru
berkata, “Bukankah Rasulullah telah berkata, ‘Kami para nabi tidak
meninggalkan harta warisan. Apa yang kami tinggalkan itu adalah
sedekah.”
Semasa kekhalifahan Abu Bakar, kadar keilmuan Aisyah tidak begitu tampak di
kalangan kaum muslimin, karena dengan jarak waktu wafatnya Rasulullah sangat
dekat, juga karena kaum muslimin sedang disibukkan oleh perang Riddah (perang
melawan kaum murtad). Setelah dua tahun tiga bulan dan sepuluh malam, khalifah
pertama, Abu Bakar, meninggal dunia. Sebelum meninggal, Abu Bakar berwasiat
kepada putrinya agar menguburkannya di sisi Rasulullah. Aisyah melaksanakan
perintah ayahnya, dan ketika Abu Bakar rneninggal, Aisyah menguburkan jenazahnya
di sisi Nabi, kepalanya diletakkan pada sisi pundak Nabi.
Ilmu Aisyah mulai tampak pada masa kekhalifahan Umar, sehingga para sahabat
besar senantiasa merujuk pendapat Aisyah jika mereka dihadapkan pada
permasalahan- permasalahan yang berkenaan dengan kaum muslimin. Di dalam
Thabaqat, dari Mahmud bin Luhaid, lbnu Saad berkata, “Para istri Nabi banyak
rnenghafal hadits Nabi, namun hafalan Aisyah dan Ummu Salamah tidak ada yang
dapat menandingi. Aisyah adalah penasihat kekhalifahan Umar dan Utsman hingga
dia meninggal. Pada waktu itu, Umar sangat memperhatikan keadaan istri-istri
Nabi. Tentang hal itu Aisyah berkata, ‘Umar bin Khaththab selalu memperhatikan
keadaan kami dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Dia memiliki tempat kurma besar yang selalu diisi buah-buahan dan kemudian
dikirimkan kepada istri-istrii Nabi Shallallahu alaihi wassalam.’ Begitu juga
dengan Utsman bin Affan. Aisyah sangat menghormati Utsman karena kedudukannya
sangat terhormat di hati Rasulullah. Utsman bin Affan memiliki kedermawanan dan
rasa malu yang besar, sehingga Aisyah pernah berkata, ‘Nabi Shallallahu alaihi
wassalam. sangat malu jika bertemu dengan Utsman. Jika Nabi bertemu dengannya,
beliau akan duduk di sampingnya dan merapikan bajunya.’ Ketika Aisyah menanyakan
hal itu, beliau menjawab, ‘Aku merasa malu kepada seseorang yang kepadanya
malaikat sangat malu.”
Di dalam hadits Nabi, Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah berwasiat kepada
Utsman agar jangan turun dari kekhalifahan jika belum terlaksana dengan
sempurna. Beliau bersabda, “Wahai Utsman, sesungguhnya pada suatu hari nanti
Allah akan mengangkatmu dalam urusan ini. Jika orang-orang munafik menginginkan
agar engkau meninggalkan baju kebesaran yang Allah pakaikan kepadamu, janganlah
engkau melepaskannya.” Beliau mengulang perkataan tersebut tiga kali. Ketika
Utsman meninggal di tangan pemberontak, Aisyahlah yang pertama menuntut balas
atas kematiannya.
Berkaitan dengan masalah permusuhan Aisyah dan Ali, terdapat hadits dari
Aisyah sendiri yang menetralkan isu tersebut. Aisyah dan Ali memiliki kedudukan
yang mulia dan terhormat, dan tentunya Aisyah tidak akan melupakan bahwa Ali
adalah anak paman Rasulullah sekaligus sebagai suami dari putri Rasulullah.
Aisyah pun tentu tidak akan melupakan kegigihan Ali dalam berjihad di jalan
Allah dan menjadi orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak. Isu
pertentangan Ali dan Aisyah tentu saja tidak beralasan karena Aisyah sangat
meyakini kualitas ilmu dan sifat amanah Ali. Ketika Suraih bin Hani menanyakan
kepada Aisyah tentang mengusap khuffain (penutup kepala) ketika berwudhu, maka
Aisyah menjawab, “Datanglah kepada Ali, karena dia selalu bepergian (safar)
bersama Rasulullah.”
Setelah Ali wafat, Aisyah senantiasa berada di rumah dan memberikan pelajaran
hadits dan tafsir ayat Al-Qur’an. Aisyah tidak pernah rela membiarkan sepak
terjang Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang banyak bertentangan dengan syariat Islam
walaupun Mu’awiyah senantiasa berusaha menarik simpatik dan kerelaan Aisyah.
Suatu saat, Mu’awiyah mengutus seseorang untuk meminta fatwa kepada Aisyah yang
isinya, “Tuliskan untukku, dan jangan terlalu banyak!” Aisyah menjawab, “Salam
sejahtera buatmu. Aku mendengar Rasululiah Shallallahu alaihi wassalam.
bersabda, ‘Barang siapa yang mencari keridhaan Allah sementara manusia marah,
niscaya Allah cukupkan baginya pemaafan manusia. Dan barang siapa yang mencari
keridhaan manusia dengan kemurkaan Allah, niscaya Allah wakilkan masalah
tersebut kepada manusia. Salam sejahtera untukmu.”
Wafatnya Siti 'Aisyah
Dalam hidupnya yang penuh dengan jihad, Sayyidah Aisyah wafat pada usia 66
tahun, bertepatan dengan bulan Ramadhan, tahun ke-58 hijriah, dan dikuburkan di
Baqi’. Kehidupan Aisyah penuh kernuliaan, kezuhudan, ketawadhuan, pengabdian
sepenuhnya kepada Rasulullah, selalu beribadah, serta senantiasa melaksanakan
shalat malam. Bahkan dia sering memberikan anjuran untuk shalat malam kepada
kaum muslimin. Dari Abdullah bin Qais, Imam Ahmad menceritakan, “Aisyah berkata,
‘Janganlah engkau tinggalkan shalat malam, karena sesungguhnya Rasulullah tidak
pernah meninggalkannya. Jika beliau sakit atau sedang malas, beliau melakukannya
sambil duduk.”
Aisyah memiliki kebiasaan untuk memperpanjang shalat, sebagaimana
diriwayatkan oleh Ahmad dan Abdullah bin Abu Musa, “Mudrik atau Ibnu Mudrik
mengutusku kepada Aisyah untuk menanyakan segala urusan. Aku tiba ketika dia
sedang shalat dhuha, lalu aku duduk sampai dia selesai melaksanakan shalat.
Mereka berkata, ‘Sabar-sabarlah kau menunggunya.” Aisyah pun senantiasa
memperbanyak doa, sangat takut kepada Allah, dan banyak berpuasa sekalipun cuaca
sedang sangat panas. Di dalam Musnad-nya, Ahmad berkata, “Abdurrahman bin Abu
Bakar menemui Aisyah pada hari Arafah yang ketika itu sedang berpuasa sehingga
air yang dia bawa disiramkan kepada Aisyah. Abdurrahman berkata, ‘Berbukalah.’
Aisyah menjawab, ‘Bagaimana aku akan berbuka sementara aku mendengar Rasulullah
telah bersabda, ‘Sesungguhnya puasa pada hari Arafah akan menebus dosa-dosa
tahun sebelumnya.”
Selain itu, Aisyah banyak mengeluarkan sedekah sehingga di dalam rumahnya
tidak akan ditemukan uang satu dirham atau satu dinar pun. Nabi Shallallahu
alaihi wassalam. pernah bersabda, “Berjaga dirilah engkau dari api neraka
walaupun hanya dengan sebiji kurma.”
Di dalam riwayat lain dikatakan, “Aku didatangi oleh seorang ibu yang
membawa dua orang putrinya. Dia meminta sesuatu dariku sedangkan aku tidak
memiliki apa pun untuk diberikan kepada mereka selain satu biji kurma. Aku
memberikan kurma itu kepadanya, dan ibu itu membaginya kepada kedua anaknya. Dia
berdiri kern udian pergi. Setelab itu Rasulullab masuk dan bersabda, ‘Barang
siapa mengasuh anak-anak itu dan berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan
rnenjadi penghalang baginya dari api neraka.“ (HR. Muttafaq
Alaihi).
Ada juga riwayat lain yang membuktikan kedermawanan Aisyah. Urwah berkata,
“Mu’awiyah memberikan uang sebanyak seratus ribu dirham kepada Aisyah. Demi
Allah, sebelum matahari terbenam, Aisyah sudah membagi-bagikan sernuanya.
Budaknya berkata, ‘Seandainya engkau belikan daging untuk kami dengan uang satu
dirham.’ Aisyah menjawab, ‘Seandainya engkau katakan hal itu sebelum aku
membagikan seluruh uang itu, niscaya akan aku lakukan hal itu untukmu.”
Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Aisyah dan semoga Allah
memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Referensi :
- Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu,
Riyadh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar