PANGERAN ANGKA WIJAYA
MBAH PULOSAREN LOSARI
wilayah Losari yang terletak di Jawa Barat dan Jawa Tengah menunjukkan bahwa pengaruh Islam dari Cirebon juga kental mewarnai dan mempengaruhi penyebaran Islam di Kabupaten Brebes. Hal ini terbukti lewat jejak sejarah Kompleks Makam Pulosaren di wilayah Losari Lor (utara). Gerbang kompleks makam ini menggunakan arsitektur khas Keraton Cirebon. Di dalam kompleks makam ini juga terdapat kuburan tokoh penyebar Islam di Losari, Pangeran Angka Wijaya atau Panembahan Losari. Masyarakat sekitar menyebutnya Mbah Pulosaren.
Pangeran Angka Wijaya merupakan salah seorang cucu Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati. Ia mendapatkan tugas untuk menyebarluaskan dakwah dan ajaran Islam di wilayah Cirebon bagian timur, yaitu Losari. Jejak dakwah yang dilakukan oleh Pangeran Angka Wijaya menurut catatan sejarah dilakukan pada abad ke-16.
Karakter kuat yang dimiliki Pangeran Angka Wjiaya dalam upaya menyebarluaskan agama Islam diwarisi dari kakeknya sendiri, yaitu Sunan Gunung Djati. Sebelumnya, pola dakwah Islam yang sejuk dan ramah oleh Sunan Gunung Djati juga lahir dari seorang pamannya bernama Pengeran Cakrabuwana atau yang dikenal Mbah Kuwu Sangkan, makamnya ada daerah Cirebon Girang. Mbah Kuwu Sangkan merupakan tokoh utama babad alas Islam di Cirebon.
Setiap tahun, di Makam Pulosaren diselenggarakan kegiatan Haul Pangeran Angka Wijaya yang melibatkan Pemerintah Kabupaten Brebes, pihak Keraton Kasepuhan Cirebon, dan ribuan masyarakat dengan mendatangkan kereta kencana. Kendaraan khas yang dahulu digunakan oleh pihak kerajaan ini sengaja didatangkan langsung oleh Keraton Kasepuhan Cirebon untuk digunakan dalam acara Kirab Panembahan Losari.
Makam Pangeran Angka Wijaya juga selalu ramai peziarah terutama ketika penyelenggaraan haul terus diperkuat oleh para pemangku kebijakan dengan tujuan agar masyarakat tidak lupa dengan akar sejarahnya, terutama sejarah penyebaran Islam di Losari yang dinilai menjadi titik sentral meluasnya Islam di seluruh Kabupaten Brebes. Makam Pulosaren sendiri menunjukkan bahwa pengaruh Islam dan karakter Kerajaan Cirebon cukup kuat.
PERKEMBANGAN PENYEBARAN ISLAM
Selain situs sejarah makam Pangeran Angka Wijaya, masyarakat Brebes juga bisa menelusuri jejak penyebaran Islam melalui makam Syekh Junaidi di Desa Randusanga Wetan, makam Mbah Idris di Desa Limbangan, dan beberapa situs makam yang terletak di wilayah Losari. Ada juga situs makam Pangeran Arya Penangsang di Dukuh Kosambi, Desa Jipang, Kecamatan Bantarkawung (Brebes bagian selatan).
Selain menelusuri sejarah melalui sejumlah tokoh, masyarakat juga bisa melengkapi catatan sejarah tentang penyebaran Islam di Brebes melalui beberapa pesantren tua. Berdirinya beberapa pesantren tua di Brebes juga menunjukkan bahwa penyebaran Islam berkembang dari pesisir laut mengarah ke daerah pegunungan di wilayah selatan Brebes.
Selain Pesantren Lumpur di Desa Limbangan Kecamatan Losari, di antara pesantren yang berusia cukup tua di Brebes ialah Pesantren Karangmalang di Ketanggungan (Brebes bagian tengah), Pesantren As-Salafiyah Luwungragi di Bulakamba yang saat ini dipimpin KH Subhan Makmun (Rais Syuriyah PBNU), dan tentu Pesantren Al-Hikmah di Benda Sirampog (Brebes bagian selatan) pada abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Masuk ke daerah Brebes kota, Masjid Agung Brebes juga merupakan salah satu situs sejarah penting tentang penyebaran Islam. Masjid yang berdiri megah di sebelah barat Alun-alun Brebes ini didirikan pada masa Bupati Raden Tumenggung Aria Singasari Panatayuda II (1836-1850).
Dari beberapa situs sejarah di atas dapat dipahami bahwa penyebaran Islam di Brebes mengalami perkembangan pesat pada abad ke-19 melalui beberapa tokoh dan kiai dengan mendirikan pesantren sebagai wadah menempa ilmu-ilmu agama kepada masyarakat yang bersumber dari kitab-kitab ulama klasik (kitab kuning).
Penyebaran Islam di wilayah pesisir Losari ini juga menunjukkan bahwa kajian sejarah tentang penyebaran Islam tidak melulu di pedalaman dan pegunungan seperti yang lebih banyak dilakukan oleh para peneliti. Karena justru Islam terlebih dahulu menyentuh masyarakat pesisir.
Kajian Islam Pesisir oleh Prof Nur Syam (LKiS, 2005) telah menjadi kritik mendasar bagi para peneliti Barat. Dalam pandangan para Indonesianis (peneliti Barat yang meneliti tentang Indonesia), kajian Islam Jawa cenderung hanya memotret latar masyarakat pedalaman dan pengunungan. Pandangan inilah yang membuat mereka melupakan masyarakat pesisir.
RESISTENSI KOLONIAL
Penyebaran agama Islam di Brebes ini bukan tanpa rintangan, sebab para tokoh dan kiai di pesantren harus menghadapi kekejaman kompeni Belanda kala itu. Bahkan, beberapa kiai mendapat ancaman di-bedil dari jarak dekat oleh Belanda karena dianggap mengancam eksistensi kolonial.
Para kiai pesantren di seluruh pelosok Nusantara paham betul, rakyat Indonesia sedang dalam kondisi kesengsaraan luar biasa karena penjajahan. Sebab itu, selain sebagai tempat menempa ilmu agama, pesantren juga dimanfaatkan oleh para kiai sebagai wadah pergerakan nasional secara kultural untuk melawan ketidakperikemanusiaan penjajah.
Walhasil, dari sejarah penyebaran Islam di Brebes tersebut, meskipun pengaruh Islam semakin besar, tetapi tidak serta merta memudarkan kearifan lokal (local wisdom). Banyak ditemui tradisi dan budaya masyarakat terdahulu yang masih bertahan hingga kini. Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam di Brebes tidak tercerabut dari akar sosial masyarakatnya sebagai wujud keshalehan sosial selain memperkuat keshalehan spiritual.
Penyebaran Islam melalui wayang, sejumlah tradisi slametan bernuansa Islami, adanya pengajaran kitab kuning dengan tulisan Arab Pegon berbahasa Jawa, begitu juga dengan perpaduan gamelan dan shalawat merupakan akulturasi dan kolaborasi budaya yang bersinergi dengan ajaran Islam warisan dakwah Wali Songo. Wallahu ‘alam bisshowab.